Meski Cuma Belajar Sabtu dan Minggu, Yohana dan ”Kopaja” Tetap Guru Bagi Anak-anak Sakai Jembatan II Jurong Duri

Meski Cuma Belajar Sabtu dan Minggu, Yohana dan ”Kopaja” Tetap Guru Bagi Anak-anak Sakai Jembatan II Jurong Duri

Yohana, guru bagi masyarakat Suku Sakai Jembatan II Jurong, Duri.

Sabtu, 26 November 2016 12:45 WIB
DURI, POTRETNEWS.com - Pendidikan formal seperti sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA), mungkin tidak begitu penting bagi anak-anak Suku Sakai, Jembatan II Jurong Duri, Desa Petani, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau. Faktanya banyak dari mereka di sana yang tidak mengenyam pendidikan formal tersebut dengan alasan yang masih kuno yakni, pendidikan itu tidak begitu penting. Dan yang terpenting itu adalah bekerja dan mencari uang untuk tetap bertahan hidup.

Paradigma dan cara pandang kuno itu perlahan diubah oleh Yohana beserta teman-temannya yang tergabung dalam Kopaja (Kelompok Pembina Pendamping Jurong), yakni Isnaini, Umi Hani dan Rahmatia.

Setiap Sabtu dan Minggu setelah Zuhur, mereka datang ke kampung Sakai tersebut untuk mengajarkan anak-anak di sana belajar membaca huruf, angka, Alquran, dan bacaan salat, meski terkadang ditentang oleh orang tua anak-anak Sakai di sana.

Tidak hanya itu saja, Yohana dan teman-temannya juga mengajarkan anak-anak Sakai Jembatan II Jurong, bagaimana hidup bersih dan sehat, bagaimana berpakaian sopan, bagaimana berbicara dengan orang yang lebih tua, pendidikan karakter serta memberikan pendidikan akhlak.

Yohana yang merupakan karyawan swasta di perusahaan migas di Duri ini awalnya mendapat penolakan keras dari masyarakat Sakai setempat. Tetapi ia dan temannya tidak pernah putus asa dan surut dari niat semula ingin memberikan pendidikan bagi anak-anak Sakai Jembatan II Jurong.

"Saya dan masyarakat Sakai di sini sama saja. Hanya ras, suku dan adat saja yang membedakan kami. Saya ingin anak-anak Sakai di sini bisa membaca, bisa menulis dan bisa berubah menjadi lebih baik lagi mengikuti perkembangan zaman saat ini yang sudah semakin maju dan kaya tekhnologi," ujar Yohana beberapa waktu lalu di sela aktivitasnya mengajar anak-anak Sakai di suatu musala yang disulap menjadi tempat belajar.

Meski di lingkungan sana ada SD, masyarakat Sakai hanya ingin belajar dengan Bu Johan, sebutan Yohana bagi anak-anak Sakai. Dari kejauhan, anak-anak Sakai sudah bisa melihat mobil Bu Johan dan bergegas untuk mandi sebelum datang belajar di musala.

Bagi yang sudah mandi dan rapi, berlarian mengejar mobil Buk Johan hingga sampai ke dekat musala. Ada Nanang, Mirna, Kulis dan anak-anak lainnya yang semangat mengikuti kegiatan belajar dengan Buk Johan dan teman-temannya.

Bu Johan juga punya cara tersendiri untuk menarik perhatian anak-anak Sakai mau datang belajar. Salah satunya dengan membawakan oleh-oleh pakaian bekas yang masih layak pakai, memberikan buku-buku pelajaran serta sejumlah perlengkapan sekolah untuk anak yang mengikuti pelajaran hingga selesai. Materi pelajarannya disesuaikan dengan usia mereka yang dibagi menjadi beberapa kelompok.

Masyarakat Sakai yang mayoritas beragama Muslim ini masih banyak yang belum bisa mengaji, khususnya para orang tua. Untuk itu, mereka tidak ingin anak-anaknya juga sama seperti mereka tidak bisa mengaji.

"Saya kalau Bu Johan sudah datang, anak saya, saya suruh langsung mengaji. Harus pandai mengaji, harus jadi orang pintar," kata Yen, seorang ibu yang senang menunggu anaknya belajar.

Sosok Bu Johan sangat dipuji masyarakat Sakai Jembatan II Jurong Desa Petani. Sejak awal datang ke kampung itu, Bu Johan mengajarkan para ibu-ibu dan remaja putri untuk menjahit dan membuat kerajinan tas dari bahan bekas. Mulai dari mendatangkan alat dan bahan, Bu Johan juga ikut mempromosikan hasil kerajinan muridnya di sana.

"Setelah mengajari kami menjahit, buk Johan mulai mengajar anak-anak membaca dan menulis. Mengajar mengaji juga. Meskipun ada sekolah dasar disini, anak-anak kami lebih suka belajar dengan Bu Johan dan teman-temannya. Tapi belajarnya hanya sekali seminggu. Kalau bisa Bu Johan bisa bertahan lama mengajar anak-anak kami, sebab banyak guru yang pernah datang kesini mengajar anak-anak sakai tidak tahan lama. Hanya beberapa sudah pindah lagi keluar kota," kata Yen lagi.

Miris, di tengah kemajuan teknologi yang semakin canggih ini, masih ada orang yang belum bisa menghitung umurnya, seperti Puja, misalnya. Wanita yang sudah memiliki satu anak saat ditanyakan usianya menjawab "6, eh 4". Ia bahkan tidak tahu arti umur atau usia itu.

Begitu juga saat ditanyakan usia anaknya. Dia Bahkan tidak pernah mengurus akta kelahiran anaknya. "Kami ini yang penting bisa makan untuk tetap hidup, tak perlu rumah mewah dan harta berlimpah. Dari ikan dan kayu saja, kami sudah dapat uang untuk makan dan beli pakaian," kata Puja.

Hampir dua jam lebih anak-anak sakai jurong belajar bersama tim relawan, masih terlihat bersemangat dan protes ketika gurunya menutup pertemuan dengan membaca doa.

"Meskipun tidak semua anak suda belajar, tapi banyak anak-anak Sakai Jurong itu yang memiliki semangat belajar yang tinggi," kata Yohana.

"Kita sedang mencoba membangun karakter positif generasi anak-anak Suku Sakai untuk masa depan di Jurong. Alhamdulillah, penerimaan yang baik dari masyarakat serta dukungan tokoh memberikan semangat baru bagi seluruh pihak dan kami semua yang terlibat," ujar guru bagi anak-anak Sakai Jurong ini. ***

Editor:
Fanny R Sanusi

Kategori : Bengkalis, Umum, Peristiwa
wwwwww