Bukan Jadi Sekadar Tahun Baru!

Bukan Jadi Sekadar Tahun Baru!

Ilustrasi.

Jum'at, 01 Januari 2016 16:08 WIB
TAHUN demi tahun berlalu, tak beda halnya dalam beberapa jam ke depan, kitapun kembali memasuki tahun baru 2016. Berbagai masalah global dan lokal menjadi ancaman serius bagi Indonesia. Jika tak diantisipasi sejak dini, bisa-bisa negara ini mengalami konflik horizontal dan vertikal berkepanjangan yang berujung terjadinya perpecahan sesama anak bangsa. Lanjutannya, Indonesia bisa bubar sebagai negara dan hancur berkeping-keping seperti eks negara Yogoslavia. Keutuhan sebagai satu bangsa berulangkali diuji akibat berbagai dinamika sosial, ekonomi dan politik.

Sepanjang tahun 2015, ancaman global bisa terlihat melanda hampir semua kawasan. Afrika, Eropa, dan Asia disibukkan dengan ekses konflik berkepanjangan yang terjadi di kawasan Timur Tengah. Bukan hanya massalah pengungsi yang masuk ke kawasan Eropa dan Asia, tetapi meluasnya radikalisme yang mengatasnamakan agama.

Kekerasan bersenjata telah mengancam dan menggoncang dunia, termasuk di Perancis dan Amerika Serikat, yang dulunya dianggap tak mungkin semudah itu dicapai teroris.

Di kawasan Asia, sengketa Laut China Selatan antara Tiongkok dan lima negara ASEAN telah melibatkan negara-negara lain, seperti Amerika Serikat, Australia, dan Jepang, dengan agenda politik dan ekonomi masing-masing.

Memang saat ini situasi belum mengarah terjadinya konflik bersenjata. Tetapi bukan tak mungkin akan meledak, jika terjadi manuver berlebihan di antara negara yang bertikai. Dampaknya tentu akan langsung dirasakan Indonesia sebagai bagian dari persoalan tersebut.

Berbagai persoalan ekonomi akibat krisis global juga masih membayangi Indonesia. Nilai tukar rupiah dan indeks saham masih belum aman sepenuhnya. Gonjang-ganjing yang diakibatkan masalah Amerika Serikat, Eropa dan Tiongkok ternyata sangat dirasakan masyarakat Indonesia.

Tahun 2016 pun masih dipenuhi ketidakpastian meski sudah banyak paket kebijakan sebagai stimulus dikeluarkan Presiden Jokowi.

Belum lagi dalam hitungan jam, Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sudah mulai diimplementasikan. Artinya, masuknya tenaga kerja dan produk negara lain ke Indonesia tak bisa dicegah lagi. Tentu saja yang datang tak hanya pekerja asing, ada dampak ikutan yang terbawa masuk, antara lain budaya.

Jika tak kuat, bisa saja budaya lokal bakal tergerus, terlindas masuknya budaya asing. Belum lagi persoalan lokal akibat kemiskinan, kegaduhan politik dan kesenjangan sosial.

Untuk menjaga keutuhan Indonesia, diperlukan pembaharuan wawasan kebangsaan di tengah dinamisnya globalisasi.

Bukan berarti Indonesia menjadi tertutup dengan segala hal yang berbau asing. Namun, bagaimana Indonesia tetap bisa menikmati kemajuan zaman, namun nilai-nilai bangsa tetap terjaga. Semangat nasonalisme dan cinta tanah air tetap terpelihara. Ada kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, meski dikepung kepentingan-kepentingan yang tak terhindarkan dari dan terhadap negara-negara lain.

Badan Sosialisasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menilai Indonesia sedang mengalami krisis identitas kebangsaan akibat prilaku korup oknum pejabat negara dan kepala daerah. Kondisi ini menjadi ancaman nyata bagi keutuhan nilai kebangsaan, seperti Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika.

Masyarakat sekarang cenderung jadi kurang percaya diri sebagai bangsa Indonesia yang berkultur kegotong-royongan karena begitu banyaknya terjadi korupsi, penyelewengan, ketidak-adilan, dan orang yang tidak sejahtera.

Direktorat Politik dan Komunikasi Kementerian PPN/Bappenas tengah menyusun Dokumen Strategi Nasional Wawasan Kebangsaan. Kelima sila dalam Pancasila digunakan untuk meneropong permasalahan krusial yang tengah dihadapi bangsa.

Berdasarkan sila pertama, permasalahan bangsa yang paling krusial adalah intoleransi. Lalu pada sila kedua adalah mengenai Hak Asasi Manusia. Di sila ketiga adalah ancaman disintegrasi bangsa. Pada sila keempat mengenai kualitas demokrasi dan di sila kelima adalah persoalan kesenjangan sosial.

Untuk Pemerintah perlu lebih serius lagi menampakkan prilaku yang dapat memperbaharui wawasan dan rasa kebangsaan Indonesia yang kelak mau dijadikan contoh bagi rakyatnya. Contoh kecilnya adalah kerendahan hati dan berjiwa besar dari para pejabat sebagai pemimpin.

Semisal, berjiwa besar dengan rendah hati melayani masayarakat seperti yang ditunjukkan Gubernur DKI dan Wali Kota Surabaya. Juga kebesaran jiwa Dirjen Pajak dan Dirjen Perhubungan Darat yang mengundurkan diri karena menilai dirinya belum mumpuni mengemban suatu amanah tugas dari dan untuk rakyat. Kesemuanya ini menyumbangkan contoh wawasan kebangsaan yang diperbaharui (renewed nationalism).

Karena sesungguhnya hanya kerendahan hati terhadap sesama bangsa (tidak ada yang merasa lebih dominan) dan kebesaran jiwa (pengorbanan demi kebaikan yang lebih besar) yang merupakan kunci sukses menghantarkan bangsa ini ke panggung kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945.

Demikian juga saat kita memasuki tahun 2016, saat MEA diterapkan, semangat renewed nationalism perlu dikampanyekan. Bukan cuma dengan upacara dan deklarasi semata, namun dengan sikap dan etika kerja para pemimpin nasional dan daerah yang diperbaharui.

Jangan karena sudah terbuka ke negara lain, maka identitas sebagai bangsa Indonesia menjadi hilang. Nilai-nilai kebangsaan tak boleh kendor, bahkan semua pihak mesti memperbaharuinya, apapun harganya.

Agar tahun baru 2016 bukan lagi sekedar pergantian tahun, melainkan sebagai momentum untuk sungguh-sungguh memperbaharui agar kita kelak menjadi bangsa yang kembali merdeka. Bukan dari penjajahan bangsa asing tapi merdeka dari penjajahan ketinggian hati dan kekerdilan jiwa kita sendiri. Selamat tahun baru ! ***

(Akham Sophian)
Kategori : Opini
Sumber:Hariansib.co
wwwwww