Home > Berita > Riau
Dinilai Banyak Merugikan, Kontrak Investor Asing Harus Dikaji Ulang

Sofyani Faisol: Besaran Gaji 1.500 Karyawan yang Bakal Di-PHK Sama dengan 40 Ekspatriat Chevron

Sofyani Faisol: Besaran Gaji 1.500 Karyawan yang Bakal Di-PHK Sama dengan 40 Ekspatriat Chevron

Ilustrasi/Chevron.

Senin, 15 Februari 2016 01:48 WIB
JAKARTA, POTRETNEWS.com - Karpet merah yang digelar pemerintah untuk investor asing, hendaknya tidak dilakukan secara otomatis. Pasalnya, banyak investor asing yang justru tidak memberikan keuntungan bagi negara dan masyarakat Indonesia. Sebaliknya kehadiran mereka malah merugikan. Oleh karena itu, pemerintah harus mengkaji ulang kontrak-kontrak investor asing yang merugikan bangsa dan masyarakat Indonesia itu. Demikian desakan yang disampaikan kepada pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla sebagai resolusi hasil diskusi perwakilan dari sejumlah serikat pekerja berbagai unit usaha, di Jakarta, akhir pekan lalu.

Diskusi itu menampilkan pembicara Prof Bradon Ellem dari The University of Sydney Business School, Australia dan Shannon O'Keeffe, Campaigns Director International Transport Workers' Federation (ITF), yang bermarkas di Sydney Australia. Diskusi dibuka oleh Ketua ITF Asia Pasific Hanafi Rustandi.

Hanafi mengatakan, konglomerasi asing mendominasi eksplorasi dan ekploitasi hasil pertambangan minerba (mineral & batubara) dan migas di Indonesia. Ini antara lain Freeport-McMoran Copper & Gold Inc, PHI Group, Coke Resources, Exxon Mobil, Shell, British Petroleum, Total SA, Chevron Corp., Chonoco-Philips, Inpex dan CNOOC. Rata-rata kepemilikan sahamnya antara 75-90 persen dan merupakan saham mayoritas.

Melihat besarnya dominasi asing itu, Hanafi mengingatkan semua elemen masyarakat Indonesia untuk waspada dan proaktif memantau dan mengawasi perilaku perusahaan-perusahaan multinasional yang berinvestasi dalam proyek-proyek minerba dan migas di Tanah Air.

Untuk memastikan industri migas dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat dan perekonomian nasional, Hanafi mendesak pemerintah untuk memperketat kontrak dan regulasi terhadap semua operator migas agar mereka mengutamakan transparansi, akuntabilitas dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

Dalam hal ini, ia menyoroti Chevron yang menguasai tambang minyak di Riau. Perusahaan asal Amerika Serikat ini dinilai memiliki reputasi terkait korupsi dan penggelapan pajak di beberapa negara. Tapi untuk di Indonesia, Hanafi yakin telah terdokumentasi dengan baik.

Sofyani Faisol dari Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu menilai migas di Indonesia bukan saja dicuri, tapi dirampok oleh perusahaan asing, termasuk Chevron yang menguasai ladang minyak di Blok Rokan, Riau, dengan produksi 200.000 barel per hari.

“Sudah 40 tahun Chevron menguras, bahkan merampok minyak di Riau. Tapi belakangan Chevron akan mem-PHK 1.500 karyawan,” ujarnya. Menurut Faisol, besaran gaji 1.500 karyawan itu sama dengan 40 ekspatriat (expatriat) Chevron. “Dari pada mem-PHK 1.500 karyawan, lebih baik kita mengusir 40 ekspatriat (expatriat) Chevron itu,” tegasnya.

Sebagai pengggantinya, kata Faisol, Pertamina sanggup mengeksplorasi minyak di Rokan karena sudah 70 tahun berpengalaman mengelola minyak, mulai pengeboran sampai distribusi.

Untuk itu, ia mendesak pemerintah untuk mengembalikan peran sentral Pertamina sebagai leading sector dalam industri minyak di Indonesia. UU Migas yang berbau liberal perlu direvisi dan mengembalikan posisi Pertamina seperti dulu sebagai regulator migas di Indonesia.

Sorotan kepada Chevron juga dilontarkan Prof. Bradon Ellem dan Shanon O’Keeffe dari ITF di Sidney, Australia.

Proyek Gorgon yang menggarap gas di Pulau Barrow, Australia, itu semula akan menghasilkan gas pada 2014. Tapi kenyataannya, proyek terbesar di Australia dengan investasi 37 miliar dolar AS itu hingga kini tidak kunjung menghasilkan gas.

“Dari 17.000 karyawan di proyek Gorgon, hanya 4.000 yang dikasih pendidikan,” ujar Bradon.

Sementara, Shannon mengungkapkan, selain berupaya menghindari pajak, Chevron juga mudah mengeruk untung besar di Australia dengan modal yang didapat dari induk perusahaannya di Amerika Serikat.

Keuntungan itu diperoleh dari selisih bunga bank di AS sebesar 2 persen, sedang di Australia bunganya sebesar 7 persen. ***

(Mukhlis)
Kategori : Riau, Umum
Sumber:Pikiran-rakyat.com
wwwwww