Apa Itu Pajak Air Permukaan yang Jadi Sumber Polemik Riau dan Sumbar?

Apa Itu Pajak Air Permukaan yang Jadi Sumber Polemik Riau dan Sumbar?

Bendungan PLTA Kotopanjang di Kampar, Riau/KOMPAS.com

Selasa, 04 Agustus 2020 08:08 WIB

PEKANBARU, POTRETNEWS.com — Dua provinsi yang bertetangga di Pulau Andalas yaitu Sumatra Barat (Sumbar) dan Riau, tengah berpolemik. Penyebabnya adalah sumber air di Pembangkit Listrik Tenaga Air atau PLTA Kotopanjang.

Pemerintah Provinsi Sumbar memprotes pendapatan dari pajak air permukaan (PAP) Bendungan Kotopanjang seluruhnya diberikan ke Provinsi Riau.

Polemik bermula ketika Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri mengeluarkan surat nomor 973/2164/KEUDA tanggal 5 Mei 2020 tentang Penyelesaian Pajak Air Permukaan PLTA Koto Panjang.

Menurut surat tersebut, seluruh pajak PAP masuk ke kas Riau. Padahal sebelumnya, PAP dari PT PLN (Persero) sebesar Rp 3,4 miliar dibagi dua antara Riau dan Sumatra Barat.

Sebagai informasi, PLTA Kotopanjang berada di wilayah Bangkinang yang masuk Kabupaten Kampar Riau. Namun sumber airnya berasal dari daerah hulu di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumbar. PLTA ini memiliki kapasitas pembangkit sebesar 3 x 28 MW.

Lalu apa sebenarnya pajak air permukaan atau PAP?
Dikutip dari laman resmi Kementerian Keuangan, Senin (3/8/2020), pajak air permukaan adalah pajak pengambilan atau pemanfaatan air permukaan. Air dalam konteks PAP yakni air yang berada di permukaan tanah dan tidak termasuk air laut.

PAP merupakan salah satu pajak daerah yang jadi wewenang pemerintah provinsi.

Untuk pemungutannya, PAP telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pajak PAP dikenakan bagi pribadi atau badan usaha yang mengambil atau memanfaatkan air permukaan.

PAP tidak dikenakan untuk air permukaan yang dimanfaatkan untuk irigasi pertanian dan perikanan rakyat dan kebutuhan rumah tangga.

Air permukaan yang bisa dikenakan pajak air permukaan seperti pemanfaatan air permukaan untuk pembangkit listrik, wisata air, air baku perusahaan air minum, dan kegiatan komersial lainnya.

Sementara besaran pajak PAP yang dibayarkan ditetapkan oleh peraturan daerah lewat perhitungan nilai perolehan air permukaan (NPAP) yang meliputi jenis sumber air, lokasi sumber air, tujuan pemanfaatan air, volume air yang dipakai, kualitas air, luas area pemanfaatan air, dan tingkat kerusakan akibat pengambilan air dari sumbernya.

Berdasarkan UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), besaran tarif pajak air permukaan ditetapkan paling tinggi sebesar 10 persen. Beberapa provinsi di Indonesia menggunakan tarif tertinggi untuk pajak PAP.

Sebelumnya, Gubernur Sumbar Irwan Prayitno melayangkan protes atas dana dari PAP yang seluruhnya masuk ke kas Riau. ”Surat ke Kemendagri sudah kita proses dengan melampirkan semua dokumen pendukung, sehingga PAP tidak hanya Riau yang mendapatkannya, tetapi juga kita Sumbar,” kata Irwan dalam keterangannya.

Irwan berharap masyarakat Sumbar untuk tetap tenang dan tidak terpancing emosi. ”Percayakan saja kepada kami dan berikan kesempatan kepada kami bersama DPRD mengurusnya ke pemerintah pusat,” kata Irwan, dilansir dari kompas.com.

Irwan juga menyesali adanya pernyataan dari DPRD Riau yang menyatakan adanya ”pitih sanang” (uang senang) yang diterima Sumbar dari pajak PLTA sebut.

”Istilah tersebut dirasa kurang tepat dan kurang bijak dilontarkan, karena sangat melukai hati rakyat Sumbar,” kata Irwan.

Pernyataan itu dinilai seakan-akan melupakan sejarah pembangunan PLTA Koto Panjang dan melupakan pengorbanan rakyat Sumbar atas tenggelamnya 11 nagari atau desa di Kabupaten Lima Puluh Kota Sumbar.

Pernyataan tersebut juga dianggap melupakan masyarakat Sumbar yang berjuang sampai ke Jepang untuk mendapatkan dana pembangunan waduk tersebut.

”Mungkin teman kita di DPRD Riau lupa bahwa air yang mengalir itu asalnya dari mana. Ataukah perlu dilakukan seperti dulu, ada rencana warga Kabupaten Lima Puluh Kota mengalihkan aliran air ke tempat lain," kata Sekretaris Komisi I DPRD Sumbar HM Nurnas.

”Kalau ini dilakukan, tentu PLTA Kotopanjang tidak berfungsi. Padahal akibat waduk Kotopanjang ini, Kabupaten Lima Puluh Kota selalu kebanjiran setiap tahun,” kata Nurnas lagi.

Menurut Nurnas, selama ini tidak ada permasalahan soal jatah pembagian pajak antara Pemprov Sumbar dengan Provinsi Riau. Berapa pun hasilnya dari PLN, selalu dibagi dua. Namun dengan adanya surat Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri tersebut, akhirnya memicu polemik dan protes dari warga Sumatera Barat.

”Apalagi ditambah dengan pernyataan anggota DPRD Provinsi Riau yang sangat menyinggung perasaan masyarakat Sumatera Barat dengan istilah pitih sanang," kata Nurnas.

Waspada Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumbar Yozarwardi Usama Putra menyebutkan, terdapat daerah tangkapan air (DTA) di Koto Panjang seluas 150.000 hektar yang menampung air hujan, menyimpan serta mengalirkannya ke anak-anak sungai, terus ke sungai dan bermuara di Danau Kotopanjang.

Artinya, sumber air Waduk Kotopanjang berasal dari hutan-hutan yang berada di Sumatera Barat. Yozawardi mengatakan, untuk memastikan hutan tetap terjaga, Pemprov Sumbar melakukan kegiatan pengamanan dan perlindungan hutan pada wilayah tersebut. Selain itu, melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) sebanyak lebih kurang Rp 2 miliar per tahun dari APBD Provinsi Sumatera Barat. ***

Editor:
Akham Sophian

Kategori : Pemerintahan, Riau
wwwwww