Home > Berita > Inhu

NEWS STORY: Kisah Menyayat Hati Bupati Tulus (Ayah Penyair Chairil Anwar) dan 2 Ribu Orang yang Tewas Dibantai Belanda di Rengat pada 5 Januari 1949

NEWS STORY: Kisah Menyayat Hati Bupati Tulus (Ayah Penyair Chairil Anwar) dan 2 Ribu Orang yang Tewas Dibantai Belanda di Rengat pada 5 Januari 1949

Monumen Tragedi 5 Januari 1949 di Kota Rengat.

Minggu, 11 Desember 2016 14:45 WIB
RENGAT, POTRETNEWS.com – Belanda begitu bangga jadi tuan rumah International People’s Tribunal atau Pengadilan Rakyat Internasional, mengenai para korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), terkait kasus 1965 di Indonesia. Ini jadi ironi tersendiri. Pasalnya Negeri Kincir Angin itu sendiri, masih tutup mata dan telinga soal war crime (kejahatan perang) yang mereka lakukan di Indonesia, periode 1945-1949 (revolusi fisik perang kemerdekaan). Pemerintah Belanda sendiri tahu, karena mereka menyimpan banyak data.

Namun sayangnya, seperti dikutip potretnews.com dari okezone.com, mereka enggan mengungkitnya, karena justru akan mengundang kemarahan publik, terutama dari para veteran dan keluarga tentara Belanda yang pernah diterjunkan ke Indonesia pasca-Belanda bebas dari penjajahan Nazi Jerman. 1945, Belanda merasa sebagai bangsa pemenang.

Bersama sekutu, mereka girang bisa menaklukkan Nazi Jerman yang selama Perang Dunia II, menguasai negeri mereka. Tapi tentara Belanda tak bisa menikmati itu dalam waktu lama karena mereka sudah diharuskan ”menjaga keamanan dan ketertiban” di bekas koloni mereka – Hindia Belanda.

https://www.potretnews.com/assets/imgbank/11122016/potretnewscom_eujms_690.jpg

Bekas koloni yang ternyata pada 17 Agustus 1945 sudah memproklamirkan kemerdekaan. Kenyataan itu tidak banyak diketahui para tentara Belanda yang dikirim dari Belanda ke sini. Apalagi mereka sempat ”terdampar” di Singapura, karena pada sekutu – dalam hal ini Inggris dan Australia, masih punya urusan soal interniran dan pemulangan serdadu Jepang.

Di sisi lain pada saat yang sama, KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda yang sebelumnya vakum pasca-Belanda menyerah pada Jepang di Kalijati 1942, kembali dibentuk.

KNIL bersama sejumlah kesatuan dari Koninklijk Landmacht (KL) atau Angkatan Darat Belanda inilah yang kemudian terlibat banyak peristiwa kelam di berbagai penjuru Indonesia. Mungkin selama ini publik Indonesia lebih mengenal kejahatan perang Belanda yang terjadi di Sulawesi, atau Rawagede.

Padahal arsip-arsip Belanda yang mulai terbuka untuk umum sejak 1980-an, mengungkapkan banyak daerah lain yang menyimpan kedukaan mendalam bagi warga sipil Indonesia di masa revolusi. Peristiwa Rengat & Operatie Modder Seperti di Rengat, misalnya.

Di masa revolusi, Kota Rengat masuk ke dalam wilayah Sumatera Tengah. Tapi kini sudah jadi bagian Provinsi Riau. Kota Rengat acap dikenal sebagai ”Kota Para Raja”, karena jadi tempat kelahiran sejumlah sultan-sultan Kerajaan Indragiri.

Di kota itu pula tinggal seorang Bupati bernama Tulus. Banyak juga yang tidak tahu bahwa Bupati Tulus ini adalah ayah dari penyair ternama. Jika Anda mengenal syair ”Karawang-Bekasi” karya Chairil Anwar, maka Bupati Tulus ini adalah ayahnya. Singkat kisah, Bupati Tulus ini jadi satu dari sekira dua ribu orang dibantai Belanda di Rengat pada 5 Januari 1949.

Kisah ini disingkap jurnalis Belanda Anne-Lot Hoek, dalam perjumpaannya dengan Panca Setyawan Prihatin, putra veteran di Rengat Wasmad Rads dan Nini Turaiza Tulus, salah satu putri dari Bupati Tulus yang berarti juga adik dari Chairil Anwar. Kepada Hoek, Panca Prihatin menceritakan bahwa ayahnya saksi mata pendaratan unit komando Belanda yang tersohor Korps Speciale Troepen (KST) di Rengat pada 5 Januari 1949 yang punya misi merebut pertambangan minyak di utara Rengat dan Air Molek.

Dalam kisah yang diungkap Hoek di situs Inside Indonesia, disebutkan sebelum pendaratan KST dengan kode “Operatie Modder” atau Operasi Lumpur, lebih dulu sejumlah “Cocor Merah”, sebutan untuk P-51 Mustang, menjatuhkan bom-bom dan menembaki warga sipil di jalan-jalan raya, pasar, hingga permukiman.

Tak lama setelah serangan Cocor Merah, dimulailah penerjunan Kompi I Parasut KST berjumlah 180 personel dengan dikomando Letnan Rudy de Mey, ke daerah Sekip dekat Rengat. Akibat peristiwa inilah saat ini, daerah itu kini disebut Sekip Sipayung.

Selesai mendarat, sweeping terhadap pemuda-pemuda lokal bersenjata dilancarkan. Penembakan di mana-mana. Termasuk Bupati Tulus yang ditembak mati di depan rumahnya, di hadapan istri dan anak-anaknya.

Begitu pun di sebuah gedung pesanggrahan di Sekip yang dulunya jadi kantor pegawai pemerintahan. Sekira puluhan pegawai, termasuk 27 agen polisi Indonesia yang ditangkap, dijejerkan di halaman untuk kemudian ditembaki.

Mayat-mayatnya dibuang ke sungai terdekat. Hoek dalam perjalanannya juga mewawancara keluarga korban lainnya, Ibu Roslia. Pada tanggal yang sama, Roslia teringat ayahnya yang hanya seorang petani, ikut jadi korban, karena berusaha menolong dua tentara republik yang hanyut di sungai.

”Hampir semua warga kampung melarikan diri ke hutan. Banyak mayat-mayat juga terapung di sungai,” aku Roslia kepada Hoek. Random shooting atau penembakan acak juga terjadi di mana-mana. Para ibu ditembaki bersama anak-anak mereka.

Ibu hamil juga tak lepas dari sasaran bidik tentara Belanda, bersama para lansia. Yang selamat dari tragedi itu hanya para keluarga sultan dan warga daerah Gadang yang pro-Belanda. Sebagai ”pengenal” bahwa mereka pro-Belanda, biasanya akan dinaikkan bendera kuning di depan rumah masing-masing.

Nota Ekses & Kotak Pandora Dari berbagai sumber di Indonesia, tragedi di Rengat pada 5 Januari 1949 ini mencapai hampir 2.000 orang. Namun dari laporan Belanda bertajuk “Excessennota” atau Nota Ekses, jumlah korban dalam peristiwa itu berada di angka 80! Laporan Excessennota ini merupakan hasil penyelidikan pemerintah Belanda yang dilakukan ahli sejarah Cees Fasseur pada 1969.

https://www.potretnews.com/assets/imgbank/11122016/potretnewscom_z3blw_691.jpg

Pemerintah Belanda di era 1960-an, merasa kejadian yang ada di Rengat itu hanya sebatas ekses, sekadar insidental dari sebuah misi yang dilakukan tentara Belanda. Soal ini, hanya segelintir dari penggiat sejarah dan veteran di Belanda mau mengakui. Bahkan jika pun diungkap, mereka akan jadi sasaran intimidasi, hingga ancaman dari para veteran Belanda.

Seperti yang terjadi pada salah satu veteran KL di Indonesia Joop Hueting. Setelah pengakuan kekejaman Belanda di Indonesia ditayangkan di programa tv Belanda, Hueting dikecam dan diancam dari sesama veteran Belanda. Contoh lainnya adalah sastrawan Belanda Graa Boomsma. Dalam bukunya, dia menyamakan aksi tentara KL di Indonesia denganj Nazi Jerman. Dia pun kena gugat para veteran Belanda.

Pengakuan adanya pembantaian di Indonesia selama ini baru sebatas peristiwa di Rawagede. Lewat aktivis Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Jeffry Pondaag dengan pengacara Liesbeth Zegveld, Belanda kena gugat. Tapi itu pun baru sebatas pengakuan pembantaian sebagai ekses dari aksi polisionil.

Aksi terhadap ”warga negara” mereka sendiri sebagai bagian dari Hindia Belanda. bukan aksi tentara Belanda berupa agresi terhadap warga negara lain yang berdaulat. Belum lama ini, upaya membuka ”kotak pandora” juga coba dilakukan Direktur KITLV dan juga sejarawan Universitas Leiden Profesor Gert Oostindie. Dalam bukunya bertajuk ”Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950”, Oostindie membuka wawasan baru soal apa yang terjadi di masa revolusi dari kesaksian, buku harian, serta memoar para tentara KL.

Dari situ pula, terkuak lagi rekaman-rekaman sejarah soal kejahatan-kejahatan perang Belanda. ”Ini memberi kelegaan, karena ada pengakuan bahwa Belanda melakukan kejahatan perang,” cetus sejarawan Anhar Gonggong, pada diskusi buku tersebut di Erasmus Huis, Kedutaan Besar Belanda.

”Ternyata begitu sering ada kejahatan perang yang tidak bisa dikatakan insidental, melainkan sudah struktural. Perang (kemerdekaan Indonesia) ini adalah perang yang dipaksakan, karena Belanda masih menganggap Indonesia masih milik mereka,” lanjutnya.

”Tidak ada perang yang tidak memakan korban. Akan selalu ada kejahatan perang di dalamnya. Kalau Belanda tidak mengakui (ada kejahatan perang), mereka pasti bohong,” tandas Anhar. ***

Editor:
Fanny R Sanusi

Kategori : Inhu, Umum, Peristiwa
wwwwww