Catatan Seorang Sahabatnya, H Ilham Bintang

Tarman Azzam dalam Kenangan: Sosok Fenomenal yang Hafal Nama Hampir Semua Anggota PWI se-Indonesia

Tarman Azzam dalam Kenangan: Sosok Fenomenal yang Hafal Nama Hampir Semua Anggota PWI se-Indonesia

Tarman Azzam (kanan/ketika itu menjabat Ketua DK PWI Pusat) bersama Penanggung Jawab potretnews.com Mario Abdillah Khair (saat masih menjabat Sekretaris PWI Riau 2008-2012), dalam satu momen pada 3 April 2012. (foto: dok)

Jum'at, 09 September 2016 13:37 WIB
Ilham Bintang
JAKARTA, POTRETNEWS.com - Berita mengejutkan mendadak muncul di whatsapp Jumat( 9/9/2016) pagi, saat saya dalam perjalanan menuju Bumi Serpong Damai, Banten untuk menjadi saksi akad nikah kemenakan. Informasi pertama, Pak Tarman serangan jantung di kamarnya di Hotel Ambon Manise. Berita dikirim Mohammad Ihsan, Ketua Panitia Hari Pers Nasional 2017 yang akan berlangsung di Ambon, Maluku, bulan Februari yang akan datang.

Saya menoleh jam tangan, pukul 07.10 WIB. Saya terus kontak Ihsan meng-update keadaan Pak Tarman. Waduh. Informasi berikutnya: Pak Tarman tak sadarkan diri.

Ihsan bersama Tarman Azzam selaku Ketua Dewan Penasihat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) serta beberapa rombongan lain tiba di Ambon pada Kamis (8/9). Sore hari mereka menghadiri peluncuran Hari Pers Nasional (HPN) 2017 dalam acara Pesta Teluk Ambon yang diresmikan oleh Gubernur Maluku.

Pukul 07.25 WIB saya mengontak Ihsan. Informasinya menyesakkan dada: baru 2 menit lalu Pak Tarman dinyatakan telah wafat oleh dokter yang datang menolong pagi itu. Mau tak percaya, tetapi faktanya demikian.

Innalillahiwainnailaihi Rojiun. Tarman telah dipanggil menghadap Ilahi Rabbi. Ia wafat dalam usia 66 tahun (lahir 11 Desember 1949), meninggalkan seorang istri dan seorang anak. Padahal, mantan Ketua Umum PWI Pusat dua priode ini tidak memiliki tanda- tanda mengidap penyakit tertentu. Foto acara Kamis sore yang dikirim ke group WA memperlihatkan wajah almarhum sangat bugar.

Jumat pukul 09.00 pagi waktu Ambon (pukul 07.00 WIB) Tarman masih ngobrol di kamarnya dengan sesepuh masyarakat Maluku, Suaidi Marasabessy. Ia kemudian masuk kamar mandi. Di kamar mandi itulah dia jatuh dan tak sadarkan diri hingga menghembuskan nafas terakhir. Siang ini menurut rencana bersama rombongan ia akan kembali ke Jakarta. Tetapi kekuasaan Allah SWT menentukan lain: jasadnya yang kembali ke Jakarta Jumat siang ini.

Saya mengenal Tarman lebih dari tiga puluh tahun. Awal tahun 80-an Ketua PWI/koordinator wartawan di Istana, saya Ketua PWI Jaya Seksi Film & Kebudayaan. Ketika Tarman terpilih sebagai Ketua PWI Jaya, saya pun direkrut dalam kepengurusannya sebagai wakil ketua sampai dua periode. Begitu pun ketika terpilih sebagai Ketua Umum yang dimulai pada 1998. Pada waktu terpilih sebagai Ketua Dewan Kehormatan tahun 2008 saya menjadi sekretarisnya. Pada Kongres PWI 2013, Tarman terpilih sebagai Ketua Dewan Penasihat dan saya sebagai Ketua Dewan Kehormatan PWI.

Tarman pertama kali terpilih dalam Kongres XX PWI di Semarang, Jawa Tengah, Oktober 1998. Kongres itu diselenggarakan hanya beberapa bulan setelah di Indonesia terjadi reformasi di segala bidang menyusul runtuhnya kekuasaan Orde Baru. Tentu masih segar dalam ingatan, di masa itu segala hal berbau Orde Baru diganyang, dianggap ikut bertanggung jawab atas rusaknya tatanan kehidupan bangsa dan bernegara selama 32 tahun.

PWI yang pernah bermitra erat dengan rezim Orde Baru, mau tak mau terkena pula imbas dari keruntuhan rezim itu. PWI tidak hanya menghadapi krisis kepercayaan dari masyarakat, tetapi bahkan dari sebagian anggotanya sendiri.

Sebagai figur sentral, Tarman dihujat di mana-mana. Bahkan, pernah boneka bersimbol Tarman dilarung (dihanyutkan ke laut) oleh sejumlah wartawan, dalam suatu prosesi di Pantai Parangtritis, Jawa Tengah. Hanya berkat kesabaran, keuletan, ketegaran, dan kerja keras, Tarman dan kawan-kawan akhirnya berhasil menyelamatkan dan memulihkan eksistensi PWI sebagai organisasi terhormat. Keberhasilan itulah yang mengantarkan Tarman dipilih kembali secara aklamasi untuk memimpin PWI kedua kali dalam Kongres XXI PWI di Palangkaraya, tahun 2003.

Kepemimpinan yang mengesankan dari pria sederhana tapi energik itu selama menakhodai organisasi, cukup menjelaskan mengapa banyak anggota PWI yang amat berat melepas dia 'lengser'. Andai saja AD/ART organisasi tak membatasi ketua umum hanya boleh dipilih dua kali, tidak mustahil Tarman masih akan terpilih untuk periode berikutnya.

Tapi, Tarman sendiri tak berminat memecahkan 'rekor' menjadi pengurus tiga periode berturut-turut. Sekarang saja pun, dia ketua umum pertama yang 'selamat' merampungkan masa tugas dua periode kepengurusan. Rekor dua periode dulu dipegang oleh Harmoko, namun yang bersangkutan tidak sampai selesai karena diangkat sebagai Menteri Penerangan RI di era Orde Baru.

"Memangnya saya Superman," kata Tarman suatu hari. Ia hanya sedih dan merasa tak ikhlas jika penggantinya kelak tak memberi banyak waktu dan perhatian kepada PWI. Apalagi, kalau hanya memanfaatkan PWI untuk tujuan lain.

Perhatian Tarman selama memimpin PWI memang menakjubkan. Tarman bisa menghabiskan waktu 25 hari dalam sebulan berkeliling daerah mengunjungi cabang dan perwakilan organisasi. Sementara, untuk keluarga, anak dan istri, dia hanya sisakan 4-5 hari saja dalam sebulan.

Beberapa teman yang khawatir sempat mengingatkan dia pada kewajiban utamanya untuk memperhatikan keluarga. Tapi, Tarman mengatasi masalah itu dengan sesekali mengajak istri ikut dalam kunjungan dinasnya ke daerah. Saking seringnya terbang ke daerah, sampai ada seloroh menjuluki Tarman sebagai pembayar airport tax terbesar. Memang benar, Tarman seringkali tiba di Bandara Cengkareng dari suatu daerah hanya untuk transit ganti pesawat menuju daerah lain.

Tarman hampir tak mengenal kamus istirahat. Entah dari mana dia memperoleh sumber energi yang luar biasa besar. Itu sering manjadi bahan pembahasan kawan-kawan di PWI. Pernah dalam keadaan demam tinggi, Tarman tetap meneruskan perjalanan mengunjungi cabang PWI di suatu daerah. Itu lantaran kehadirannnya sudah dijadwalkan di sana.

Itulah antara lain sebabnya, mengapa selalu muncul perasaan subjektif kemungkinan PWI akan sulit mencari kader lain yang bisa menandingi semangat dan stamina Tarman. Ketika pengurus lain perlu istirahat beberapa hari sesudah bertugas di daerah, Tarman tak memerlukan itu. Padahal, terus berkeliling daerah, konsekuensinya bukan hanya capai secara fisik. Berarti dia juga mengorbankan kewajibannya sebagai pencari nafkah keluarga. Ketika ditanya, Tarman terbuka mengakui bahwa nafkahnya antara lain dari honor berceramah di berbagai instansi, swasta maupun pemerintah. Itu pun tentu di sela-sela kesibukan rutinnya mengurus organisasi.

Tarman lahir di Bangka, 11 Desember 1949. Putra pasangan Muhammad Azis bin Derani dengan Siti Zuraida binti Thayib ini merintis karier sebagai jurnalis di Harian Kami pada tahun 1970. Ia mulai aktif dalam jajaran pengurus PWI sejak tahun 1983 dengan menjadi Ketua Kelompok Wartawan Kepresidenan/Setneg PWI Jaya hingga tiga periode. Tahun 1987 ia direkrut masuk jajaran pengurus pleno PWI Jaya dengan jabatan Kepala Biro Organisasi. Selanjutnya, Wakil Sekretaris, Ketua PWI Jaya (1993 – 1999), hingga akhirnya terpilih sebagai Ketua Umum PWI di Semarang.

Untuk maksud mengapresiasi Tarman, Djoko Saksono, salah seorang pengurus PWI bersama Asmono dari SPS berinisiatif menerbitkan semacam buku kenangan mengenai kiprah Tarman selama memimpin PWI. Isinya, antara lain, berupa rekaman perjalanan Tarman ke berbagai pelosok Tanah Air dalam rangka tugas konsolidasi organisasi.

Buku itu juga akan menggambarkan hubungan akrab Tarman dengan seluruh anggota PWI di seluruh Nusantara. Yang mengagumkan dari sisi ini, Tarman menghafal mati nama hampir seluruh pengurus dan anggota PWI di Pusat maupun di pelosok terpencil Indonesia. Bahkan, lengkap dengan problem mereka masing-masing secara spesifik.

Buku itu juga memuat beberapa transkripsi pidato Tarman yang senantiasa mengobarkan kebanggaan seluruh anggota terhadap PWI. Kelebihan Tarman yang lain ialah kepiawaiannya sebagai orator. Pidatonya selalu menjadi inspirasi bagi anggota, karena pemahamannya yang luar biasa bukan hanya mengenai problem organisasi, tetapi problem yang dihadapi umumnya bangsa Indonesia, dan juga bangsa-bangsa dunia.

Tiada lagi Bung Tarman Azzam. Selamat jalan kawan. Semoga Anda tentram di samping-Nya. Mendapatkan tempat lapang, nyaman, dan indah. ***

[1]. *) Ilham Bintang wartawan senior dan pemerhati film.
[2].

Kategori : Peristiwa
wwwwww