Home > Berita > Riau

Tak Terasa, Sudah 18 Tahun Pemerintah ”Diakali” Perusahaan Nakal Pembakar Hutan

Tak Terasa, Sudah 18 Tahun Pemerintah ”Diakali” Perusahaan Nakal Pembakar Hutan

Kaum Muslim melaksanakan Salat Istisqa guna meminta diturunkannya hujan di lapangan Masjid Da'wah, Pekanbaru, Riau, Minggu (6/9/2015). (foto: antara/rony muharrman)

Senin, 14 September 2015 08:53 WIB
JAKARTA, POTRETNEWS.com - Strategi pemerintah untuk mengatasi persoalan tahunan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia dinilai masih tidak permanen alias sekadar untuk jangka pendek. Pemerintah dinilai baru hadir sebatas sebagai pemadam dari kebakaran hutan yang disebabkan oleh perusahaan. Manajer Penanganan Bencana dari Divisi Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Mukri Friatna, mengatakan selama 18 tahun terakhir, masih belum ada perkembangan yang signifikan dari cara pemerintah menangani tragedi karhutla. "Malah pemerintah bisa diasumsikan oleh korporasi jahat sebagai pelayan yang baik. Perusahaan yang bakar, pemerintah yang memadamkan," kata Mukri kepada CNN Indonesia, baru-baru ini.

Mukri mencontohkan strategi Operasi Darurat Asap pemerintah yang baru terpaku pada pemadaman cepat pada areal hutan dan lahan yang terbakar melalui beberapa teknik, seperti salah satunya pemboman air dari udara.

Sementara itu, Pimpinan Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Bustar Maitar mengatakan persoalan utama kebakaran hutan adalah masifnya pembukaan hutan dan gambut yang terjadi dalam 20 tahun terakhir. Sayangnya, kata Bustar, pemerintah hingga saat ini masih terus membiarkan pembukaan hutan dan gambut.

Bustar mencontohkan titik api yang semakin banyak di Merauke Papua muncul semenjak terjadinya pembukaan hutan secara besar-besaran untuk kepentingan pertanian.

"Jadi jelas pembukaan hutan dan gambut berkorelasi sangat dekat dengan kebakaran hutan. Kalau pembukaan dan pengeringan gambut di Riau masih terus berlanjut maka kemungkinan kebakaran akan tetap terjadi setoap tahun,"kata dia.

Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, luas areal yang terbakar di Indonesia per September ini tercatat 7.250,73 hektare.

Areal terbakar tersebut tersebar di lima provinsi dengan titik panas terbesar di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.

Data dari Satelit National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Amerika Serikat, jumlah titik panas di Indonesia per 3 September telah mencapai 10.321 buah.

Sementara itu, per tahun 2015, tidak ada satupun perusahaan yang telah dipidana akibat peristiwa karhutla.

Perusahaan Lolos Pidana

Menurut catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, per 26 Juli 2015 telah terdapat 23 laporan polisi dengan jumlah tersangka 23 orang. Hingga kini hanya 11 orang yang berkasnya telah dilimpahkan ke pengadilan. Tidak ada satu laporan pun mengatasnamakan korporasi.

Mukri mengatakan tidak adanya perusahaan yang berhasil dijerat secara pidana atau digugat secara perdata membuat para korporat yang nakal santai-santai saja membakar hutan karena tahu perusahaan mereka tidak pernah akan dicabut izin konsesi atau Hak Guna Usaha (HGU)-nya.

"Tidak pernah ada tindakan hukum tegas yang dijalankan pemerintah sebagai sanksi kepada pihak yang membakar hutan dan lahan. Akibatnya tidak ada rujukan untuk dipatuhi oleh semua kalangan usahawan," ujar Mukri.

Menurutnya, selama ini perusahaan masih berpikir cara termudah dan termurah untuk membersihkan dan membuka lahan adalah dengan cara membakar dan disesuaikan dengan situasi iklim. Oleh karena itu, kata Mukri, kejadian karhutla di Indonesia masih akan terus terjadi selama tidak adanya keberanian pemerintah untuk menindak perusahaan yang lalai dan nakal.

Sementara itu, Direktur Eksekutif WALHI, Abetnego Tarigan mengatakan penegakan hukum yang dilakukan pemerintah dan aparat hanya berani kepada masyarakat kecil. Pemerintah, katanya, seringkali menjadikan masyarakat kecil sebagai kambing hitam atas bencana kabut asap.

"Hal ini dapat dilihat dari pernyataan pejabat di Sumatera Selatan, misalnya per 5 Agustus yang menyebutkan kebakaran masih berada di lahan masyarakat. Padahal faktanya ketika Presiden Jokowi blusukan yang karhutla malah di lahan perusahaan perkebunan yang terbakar," ujar Abetnego.

Abetnego mengatakan khusus di Sumatera Selatan berdasarkan pengawasan WALHI Sumsel, faktanya titik panas terbanyak per September ada di 18 perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan 60 perusahaan perkebunan.***

(Akham Sophian)
Kategori : Riau, Lingkungan
Sumber:cnnindonesia.com
wwwwww