Kasihan… 10 Tahun Hidup tanpa Anus, Anak Penjual Sayur dan Kuli Bangunan Ini Menenteng Kantong Plastik Setiap Hari

Kasihan… 10 Tahun Hidup tanpa Anus, Anak Penjual Sayur dan Kuli Bangunan Ini Menenteng Kantong Plastik Setiap Hari

Bocah Junaedi 10 tahun hidup tanpa lubang anus. Setiap hari ia terpaksa menneteng kantongan plastic kemana sja aia pergi termasuk ketika ia sedang bermai dnega teman-temannya.

Sabtu, 26 Desember 2015 11:36 WIB
MAMUJU UTARA, POTRETNEWS.com - Junaedi, seorang bocah berusia 10 tahun harus menerima kenyataan hidup tanpa anus semenjak dilahirkan. Setiap hari, Junaedi harus menenteng berkantong-kantong plastik untuk menampung kotoran dari lubang anus buatan agar tidak terkena badannya. Ketiadaan biaya dari orang tua Junaedi yang membuat bocah malang ini tidak bisa mendapat pengobatan lebih lanjut. Semula, kondisi ini tak menjadi keluhan anak keempat dari tujuh bersaudara itu.

Namun, seiring pertambahan usianya yang mulai menginjak remaja, Junaedi mulai minder bergaul dengan teman-teman sebayanya karena kerap menjadi obyek ejekan. Rasa minder itu bahkan membuat Junaedi enggan bersekolah. Saat ini, kondisi fisik Junaedi kian menurun. Dia selalu terlihat lemas dan tak jarang didera sesak nafas. Meski usainya sudah 10 tahun, berat badannya tak lebih dari 15 kg.

Anak penjual sayur dan kuli bangunan
Kondisi ekonomi keluarga Junaedi yang tak menentu membuat bocah ini tak kunjung menjalani operasi pebuatan anus. Kedua orang tua bocah ini hanya menumpang hidup di rumah neneknya.

Untuk mencukupi kehidupan keseharian keluarga ini, Rabiah, sang ibu berjualan sayur-mayur keliling kampung. Sementara Joni, sang ayah menjadi buruh bangunan.

“Setiap hari ia menenteng kantongan plastik untuk menampung kotoran setiap saat, terutama jika bermain dengan anak tetangga,” tutur Rabiah. Dia bercerita anaknya diketahui tidak mempunyai lubang anus dua hari setelah lahir. Namun berkat bantuan warga sekitar, Junaedi bisa dioperasi dan dibuatkan lubang anus darurat di perut sebelah kirinya.

Meski keluraga ini termasuk peserta BPJS, namun Rubiah belum juga membawa anaknya ke rumah sakit di kota Makassar. Sementara rumah sakit setempat beralasan tak bisa melakukan operasi karena tak memiliki alat yang cukup.

Selain alasan biaya transportasi dan biaya operasi yang tidak ada, Rabiah juga mengaku punya pengalaman buruk berurusan dengan pelayanan BPJS di rumah sakit.

Menurut Rabiah, pengguna BPJS kerap mendapat pelayanan yang terkesan lamban bahkan mengabaikan pengguna kartu BPJS dibandingkan pasien lain. ***

(M Yamin Indra)
Kategori : Serbaneka
Sumber:Kompas.com
wwwwww