Kisah Dokter PTT: Di NTT, Sakit Malaria Dikira Kena Santet

Kisah Dokter PTT: Di NTT, Sakit Malaria Dikira Kena Santet

Siswa SD berjalan menuju sekolahnya yang berjarak sekitar 10-15 kilometer di Desa Looluna, Belu, NTT, beberapa waktu lalu.

Minggu, 15 November 2015 08:25 WIB
SURABAYA, POTRETNEWS.com - Untuk seorang dokter, mengabdi di tempat terpencil merupakan sebuah tantangan tersendiri. Alumnus Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga, Titik Qadarsih, ingat betul susahnya bertugas di Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Fasilitas kesehatan maupun obat jauh dari kata mudah, seperti yang dirasakannya di pulau Jawa. “Saya ditugaskan di tempat PTT dengan kategori sangat terpencil, di puskesmas Soe pada tahun 2011. Jaraknya 5-6 jam dari pusat kota,” ujar Titik saat dihubungi, Sabtu, 14 November 2015. Karena sangat terpencil, ia memahami berbagai macam risiko yang akan dia hadapi.

Kesadaran masyarakat di Soe, NTT, kata Titik, masih sangat rendah. Penyakit berbahaya yang sering diidap warga ialah malaria, namun dikira santet atau kena guna-guna. “Di sana, malaria dikira santet. Keluarganya lalu memanggil dukun, menyembuhkannya pakai ritual menyembur-nyembur, ngak mau dirujuk ke puskesmas,” kata Titik.

Bahkan, meskipun malaria sudah sampai menyerang organ otak dan pasien berteriak seperti orang gila. Biasanya, tetua adat setempat turut turun tangan dan memahamkan keluarga pasien agar mau dibawa puskesmas terdekat. “Kalau nggak mau dirujuk, terpaksa langsung diambil paksa.”

Dokter gigi berusia 29 tahun itu juga mengungkapkan, kesehatan gigi masih dianggap remeh masyarakat. Sebagian besar warga Soe memiliki kebiasaan mengunyah daun sirih. Karena tak higienis, kasus yang banyak ia temui ialah peridontal alias penyakit gusi. “Susah mengedukasi mereka untuk menyikat gigi, karena terbiasa nginang. Kalau sudah parah, sampai bengkak dan bernanah, baru ke dokter gigi minta dicabut,” ujarnya.

Titik mengatakan, seorang dokter menjalani PTT bukan suatu kewajiban. Hal itu berbeda dengan internship (magang) yang dijalani adik-adik kelasnya. Sejak tahun 2005, mahasiswa kedokteran diwajibkan menjalani internship usai menjalani Ujian Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) selama setahun.

Sedangkan Titik merupakan FKG angkatan 2004 yang masih menganut sistem lama. “Jadi PTT itu pilihan dan nggak diwajibkan. Keuntungannya, bagi dokter yang menjalani PTT akan diutamakan jika ia kelak mengambil pendidikan spesialis karena mengantongi surat masa bakti. Tapi, ya risikonya ditempatkan di daerah terpencil,” katanya.

Gaji untuk dokter PTT, lanjutnya, sangat beragam ditilik dari kategori ia ditempatkan. Karena Soe termasuk kategori daerah yang sangat terpencil, Titik mendapatkan gaji Rp 7,3 juta per bulan. Angka itu belum termasuk insentif dari Dinas Kesehatan setempat sebesar Rp 2,1 juta.

Namun, gaji sebesar itu hampir tak sebanding dengan sulitnya kehidupan di sana. Air bersih sulit didapat, hingga ia hanya bisa mandi sekali dalam sehari. Pasar tradisional digelar seminggu sekali, membuatnya sering makan hanya telur, mi instan, dan ikan sarden kalengan.

“Listrik juga hanya nyala pukul 06.00 sampai 18.00 saja, lalu mati. Tapi akan lebih sering mati jika musim hujan tiba, karena pasokan solar untuk PLN terhambat akibat longsor yang memutuskan jalan,” kenangnya.***

(Akham Sophian)
Kategori : Serbaneka
Sumber:Tempo.co
wwwwww