70 TAHUN TNI: Soedirman Jadi Panglima, Sidang ala Koboi

70 TAHUN TNI: Soedirman Jadi Panglima, Sidang ala Koboi

Jenderal Soedirman (foto: antara)

Senin, 05 Oktober 2015 23:55 WIB
JAKARTA, POTRETNEWS.com - Rapat di Markas Tinggi Tentara Keamanan Rakyat di Gondokusuman, Yogyakarta, 12 November 1945, tiba-tiba memanas. Kolonel Holland Iskandar, mantan perwira Pembela Tanah Air (Peta), menginterupsi pemimpin sidang, Oerip Soemo-hardjo, meminta peserta rapat memilih pemimpin tertinggi Tentara Keamanan Rakyat yang baru dibentuk seminggu sebelumnya. Oerip, yang kala itu Kepala Staf Umum berpangkat letnan jenderal, kehilangan kendali atas pertemuan. Hari itu juga Soedirman, yang berpangkat kolonel, terpilih menjadi Panglima Besar TKR.

Sayang tak banyak rekaman yang tertinggal dari pertemuan bersejarah yang sebagian pesertanya panglima divisi dan komandan resimen itu. Catatan yang lumayan lengkap antara lain dibuat A.H. Nasution dalam bukunya, TNI Jilid 1. Nasution saat itu berumur 26 tahun, hadir sebagai Kepala Staf Komandemen I Jawa Barat, yang membawahkan tiga divisi dengan pangkat kolonel. Menurut dia, sebenarnya hari itu Oerip mengundang semua wakil tentara dan laskar untuk membicarakan koordinasi dan strategi menghadapi kemungkinan agresi Belanda yang mendompleng tentara Sekutu. Namun, "Oerip terlihat tak bisa memimpin rapat. Dia susah menguasai jalannya pembicaraan," tulis Nasution.

Didukung sebagian besar peserta rapat yang berlatar belakang eks Peta, Holland mengambil alih pimpinan sidang. Dia lalu meyakinkan peserta rapat bahwa TKR sangat membutuhkan seorang pemimpin atau panglima besar.

Sebenarnya, sejak TKR dibentuk pemerintah pada 5 Oktober 1945, Presiden Sukarno telah menunjuk Soepriyadi sebagai panglima. Soepriyadi adalah komandan peleton atau shodancho tentara Peta. Sebelumnya dia ditunjuk sebagai Menteri Keamanan Rakyat. Namun Soepriyadi menghilang sejak pemberontakan di Blitar pada Mei 1945. Sebagian pejuang yakin dia sudah tewas terbunuh tentara Jepang.

Dalam bukunya, Genesis of Power, Profesor Salim Said, mantan wartawan dan peneliti militer, mengatakan penunjukan Soepriyadi sungguh mengherankan. Sebaiknya Sukarno atas rekomendasi Perdana Menteri Sjahrir dan Amir Sjarifoeddin menunjuk Oerip menjadi kepala staf umum. Tugas Oerip membenahi organisasi tentara yang masih semrawut. Ketika itu para pejuang dari beragam kelompok berjalan sendiri-sendiri. Pangkat dan jabatan pun diatur sendiri.

"Ada yang mengangkat diri menjadi jenderal hanya karena berhasil merebut jip Belanda," kata Salim kepada Tempo awal September 2012. Untuk menulis bukunya, Salim mewawancarai banyak pelaku sejarah, di antaranya Nasution dan Didi Kartasasmita, saat itu Panglima Komandemen Jawa Barat dengan pangkat jenderal mayor.

Nasution curiga pembelokan agenda pertemuan Gondokusuman itu sudah diatur. "Saya yakin mereka telah membicarakannya sebelum sidang. Holland Iskandar hanya sedang akting," katanya sebagaimana dikutip Salim.

Malah Didi Kartasasmita mendeskripsikan sidang berlangsung ala koboi. "Hampir semuanya pegang senjata. Gila, sebuah pertemuan revolusioner," ujarnya. Pendapat yang berbeda dengan suara mayoritas yang menghendaki pemilihan panglima besar tak diindahkan. Pendapat Menteri Keamanan Ad Interim Muhammad Sulyoadikusumo, yang mewakili pemerintah pusat, pun tak diacuhkan.

Pemilihan berlangsung secara sangat sederhana. Nama-nama calon, di antaranya Oerip, Soedirman, Amir Sjarifoeddin, dan Moeljadi Djojomartono dari Barisan Banteng, ditulis di papan tulis. Lalu panitia menyebutkan nama calon dan pendukungnya diminta mengacungkan tangan. Kalkulasi suara langsung ditulis di papan tulis.

Tjokropranolo dalam buku Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman ­mengatakan pemilihan berlangsung dalam tiga tahap. Pada tahap pertama dan kedua diberlakukan sistem gugur. Cerita mengenai metode pemilihan ini, kata Tjokropranolo, yang pernah menjadi ajudan Soedirman, dia peroleh dari Komandan Batalion Badan Keamanan Rakyat Surakarta Djati­koesoemo.

Selain mendapat dukungan luas dari tentara eks Peta, Soedirman, yang saat itu baru 29 tahun, dipilih utusan dari Sumatera, Kolonel Moh Noch. Nasution mengatakan suara Moh Noch, yang mewakili enam divisi di Sumatera, turut menjadi penentu kemenangan Soedirman dalam pemilihan.

Dalam catatan Nasution, Soedirman terpilih lantaran TKR kala itu didominasi bekas Peta—selain unsur KNIL, Heiho, dan pemuda. Dan di kalangan Peta, terutama beberapa daerah di Jawa, Soedirman memang sudah cukup dikenal. Sersan Purnawirawan TKR Sarmoedji, 87 tahun, bercerita kepada Tempo, mantan Komandan Batalion atau Daidancho Kroya itu dikenal luas berkat keberhasilannya meyakinkan Jepang agar menyerahkan senjata secara damai kepada tentara Indonesia.

Hal senada diungkapkan T.B. Simatupang dalam buku Laporan dari Banaran. Menurut dia, ketika menjadi Panglima Divisi BKR Purwokerto, Banyumas, Soedirman bersama Raden Ishaq menjadikan Banyumas sumber pasokan senjata bagi wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah. "Pak Dirman selalu dapat diharapkan untuk memberikan bantuan," ujarnya.

Sebaliknya, Oerip diperkirakan kalah karena di kalangan tentara muncul sentimen negatif terhadap serdadu didikan Belanda. "Semangat itu terpupuk dari didikan organisasi tentara Jepang," kata Salim Said. Tak aneh, Oerip—mantan mayor KNIL yang kala itu 52 tahun—lebih dekat dengan pemerintah dibanding tentara. Yang juga merugikan posisi Oerip, dia lebih lancar berbahasa Belanda dan Jawa dibanding berbahasa Indonesia. Padahal para tentara TKR, yang mayoritas berusia 20-an tahun sedang bersemangat menggunakan bahasa Indonesia. ***

(Farid Mansyur)
Kategori : Serbaneka
Sumber:Tempo.co
wwwwww