Kisah Suku Anak Rawa, Penemu Danau Zamrud hingga Jelmaan Harimau

Kisah Suku Anak Rawa, Penemu Danau Zamrud hingga Jelmaan Harimau

Makam leluhur Suku Anak Rawa.

Minggu, 20 Maret 2016 00:16 WIB
PEKANBARU, POTRETNEWS.com - Suku Anak Rawa atau yang dulunya disebut Suku Akit berada jauh di pedalaman Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Untuk ke sana, dibutuhkan waktu empat jam perjalanan darat dari Kota Pekanbaru. Di sana sangat kental dengan tradisi lama, ajaran turun temurun dari para leluhur mereka. Berdasarkan penelusuran , konon ceritanya Suku Anak Rawa pertama bermukim di daerah Sungai Lancur Darah, Kecamatan Sungai Apit, Siak. Banyak yang tidak tahu dari mana asal usul mereka. Namun beberapa sumber dan literatur menyebutkan kalau Suku Anak Rawa merupakan peradaban Melayu Tua dan berasal dari China.

Sebelum masuknya agama, Suku Anak Rawa adalah penganut animisme yang memang sudah ada dari zaman peradaban primitif. Bahkan sampai kini, para tetua Suku Anak Rawa terus menurunkan kepercayaan, jika hutan, batu, benda, sungai serta lainnya mempunyai ruh dan harus dihormati. Ajaran ini pantang untuk dilanggar, jika tidak, mereka percaya akan ada bencana yang datang.

BACA JUGA:

. Siapa Sebenarnya Pendiri Kota Pekanbaru, Marhum Pekan atau Panglima Gimbam?

. Jejak-jejak Kekejaman Jepang di Selatpanjang; Tanah Jantan yang Melawan!

. Misteri Lemari Besi di Istana Siak yang hingga Kini Tak Pernah Bisa Dibuka

. Cerita tentang Syekh Ahmad Bunda dan Mitos yang Beredar di Masyarakat Muara Lembu

. Inilah Meriam-Meriam Peninggalan Kerajaan Pelalawan

Suku Anak Rawa diriwayatkan sudah lama mendiami Kampung Penyengat ini, bahkan sebelum adanya Kerajaan Siak. Mereka juga meyakinkan, kalau merekalah yang pertama kali menemukan Danau Zamrud, yang diistilahkan Tasik Atas dan Tasik Bawah. Seperti kehidupan suku lainnya, Suku Anak Rawa ini juga kerap berpindah-pindah.

Menurut cerita masyarakat di sini, Suku Anak Rawa dahulunya cukup disegani dan dipercaya oleh Kesultanan Sri Indrapura, lantaran sifat mereka yang jujur serta cukup menguasai daerah perairan. Tak jarang Kerajaan Bahari ini acap menugaskan perwakilan Suku Anak Rawa untuk mengumpulkan upeti dari daerah-daerah kekuasaan Kerajaan Siak.

"Menurut cerita orang tua suku kami, kehidupan di sini sudah ada sebelum Kerajaan Siak berkembang luas. Dulu Kerajaan Siak segan dengan suku kami karena kejujurannya. Maka itu sering leluhur kami ditugaskan mengumpulkan upeti," ungkap Apo (37), anak perempuan dari Ketua Adat Kampung Penyengat bernama Pak Kiat.

Seiring berjalannya waktu dan pola kehidupan yang berpindah-pindah, Suku Anak Rawa inipun berkembang luas dari waktu ke waktu, hingga akhirnya pemukiman mereka berdekatan dengan orang-orang transmigrasi lokal. Inilah yang kemudian membuat Suku Anak Rawa mulai dikenal orang banyak.

Lambat laun, peradaban dari dua generasi yang berbeda ini berselaras lalu berkembang menjadi daerah yang sekarang disebut Kampung Penyengat. Kini, ada sekitar 350 lebih kepala keluarga (KK) yang menetap di Kampung tersebut, dengan total 1.438 jiwa (tahun 2014). Secara hitungan adat, luasannya sekitar 150,271,719 hektar.

Jelmaan Harimau
Kampung Penyengat tempat Suku Anak Rawa tinggal terdiri dari tiga dusun, yakni Dusun I (Tanjung Pal), Dusun II (Penyengat) serta Dusun III (Sungai Mungkal). "Waktu saya kecil sekira tahun 1980-an, Kampung Penyengat ini tak banyak penduduknya, sekitar lima Kepala Keluarga (KK) saja. Itulah lama-lama berbaur dengan Suku Anak Rawa," ungkap Apo.

Apo, ibu dari empat orang anak itu menjelaskan, sesuai cerita ayahnya (ketua adat), ada dua daerah yang sampai kini disakralkan oleh penduduk, yakni daerah Kuala Sungai Rawa dan Lubuk Belingkau (Berlingkar). Disitu termasuk dalam sejarah Suku Anak Rawa serta terdapat makam para leluhur. Bahkan ada yang panjang makamnya mencapai belasan meter.

"Saya tinggal di sini sejak tahun 1984. Dulu kampung kami tidak ada akses jalan darat. Semuanya ditempuh melalui jalur sungai dan laut dengan sampan. Akses jalan darat baru ada sekitar tahun 2011. Untuk listrik itu baru ada sekitar tahun 2012 dari tenaga diesel. Bayarnya tergantung kilometer pemakaian, bisa kira-kira Rp15 ribu sehari. Menyala mulai jam 18.00 WIB sampai jam 06.00 WIB pagi," sebutnya.

Setelah pemukiman mereka berbaur harmonis dengan warga trans lokal, Suku Anak Rawa ini pun mulai mengenal agama. Seingat Apo, agama mulai dikenal oleh orang suku tersebut sekitar tahun 1987. Meski begitu, Suku Anak Rawa ini juga selalu berpegang pada anjuran leluhur mereka, mulai dari etika sosial sampai hal mistis berupa perdukunan.

"Banyak berkaitan kepada hal gaib. Suku Anak Rawa juga kuat menjaga pantangan (larangan) yang diajarkan turun temurun. Misalnya saat melahirkan, pernikahan, turun melaut sampai berburu ke hutan. Itu semua ada aturannya. Kalau sekarang, tetua yang paham dengan ini sudah tidak banyak lagi (meninggal dunia). Tinggal beberapa orang saja," sebutnya.

Percaya atau tidak, para tetua yang mangkat (meninggal dunia) dalam garis keturunan Suku Anak Rawa disebut-sebut akan menjelma menjadi harimau, begitu penjelasan Apo. "Kami menyebutnya bawaan (keturunan). Kadang harimau itu ada di depan rumah, bahkan ada salah seorang warga yang tak sengaja menginjaknya, karena harimau itu tidur di bawah janjang," kisah Apo.

Beberapa kasus, harimau tersebut sering berpapasan dengan masyarakat. Meski begitu, Apo meyakinkan belum ada satu pun dari mereka yang dimangsa. "Kata orang tua di sini harimau itu datang mengunjungi keluarganya yang punya garis keturunan. Bahkan ada leluhur kami yang memelihara harimau (secara gaibnya berteman, red)," urainya panjang lebar.

Mato Rimbo
Kini, Suku Anak Rawa pun sudah menyebar luas di tiga dusun tersebut. Dari semuanya, ada satu pemukiman yang cukup terisolir keberadaannya, daerah itu disebut dengan nama Mato Rimbo (Mata Rimba), bagian dari Dusun III (Sungai Mungkal, red). Tak banyak yang hidup di sana, hanya sekira lima kepala keluarga.

Mato Rimbo bisa ditempuh via perairan, dengan menggunakan kapal pompong. Kalau dihitung, jarak tempunya bisa 60 menit lebih. Disitu tinggal seorang tetua Suku Anak Rawa yang sangat terkenal bernama Pak Rendang. Dia juga disebut-sebut sebagai dukun lama dan punya bakat pengobatan yang terkenal.

"Pak Rendang ini juga dukun, ada juga yang bilang dia keturunan bangsa gaib, bisa menjelma jadi harimau. Dulu sebelum ada bidan, kalau sakit yang obati Pak Rendang. Setiap ada apa-apa kami ke sana, karena sejak dulu sampai sekarang dia tak pernah meninggalkan Mato Rimbo," ujar Apo. *** #POTRETRIAU #Semua Berita Kabupaten Siak Klik di Sini 

Editor:
Mukhlis

Sumber:
GoRiau.com


Kategori : Potret Riau
Sumber:GoRiau.com
wwwwww