Menyusuri Cerita Sukses ”Kampung Patin” yang Sekarang Menyandang Sebutan ”Kampung Digital”

Menyusuri Cerita Sukses ”Kampung Patin” yang Sekarang Menyandang Sebutan ”Kampung Digital”

Aktivitas warga di Kampung Patin, Kabupaten Kampar.

Jum'at, 08 Januari 2016 02:16 WIB
PEKANBARU, POTRETNEWS.com - Kampung Patin, dulu sempat berada di ambang kemiskinan. Namun, berkat budidaya Patin, kemiskinan itu berubah menjadi cerita sukses. Kampung Patin terletak di Desa Kotomesjid, Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar Riau. Dari Pekanbaru, butuh waktu 2 jam untuk sampai di kampung ini. Plang besar bertuliskan ‘’Kampung Patin’’, di pinggir Jalan Riau - Sumbar, menyambut kita sebelum sampai di kampung ini.

Kampung Patin dikelilingi perbukitan. Tak heran, desa yang memiliki 500 kepala keluarga ini memiliki lanskap yang cantik. Mayoritas penduduk di sini bersuku Melayu, sebagaimana halnya sebagian besar suku di Kampar.

Kampung ini sangat unik. Mendapat julukan Kampung Patin karena keberhasilannya warganya membudidayakan ikan patin. Setiap rumah di sini punya kolam ikan. Istilahnya, 1 rumah minimal 1 kolam patin. Sehingga Desa Kotomesjid ini mempunyai motto ‘’Tiada Rumah tanpa kolam’’.

Hasil perikanan ini mampu menopang ekonomi masyarakat di desa ini. Derap kemajuan sangat terasa bila kita masuk ke Kampung Patin. Infrastruktur jalan dan bangunan cukup baik. Bahkan, aspal jalan menyentuh hingga kebun karet warga.

Di era teknologi informasi, desa ini juga tidak mau kalah. Kampung Patin sekarang menyandang sebutan ‘’Desa Digital’’. Setiap rumah di sini memiliki akses wi-fi.

Akses internetnya cukup cepat. Kabel optik pun sudah masuk ke Kampung Patin. Untuk mendukung ‘’Desa Digital’’, sebanyak 360 titik hotspot disediakan oleh salah satu perusahaan jasa telekomunikasi milik pemerintah.

Warga Desa Koto Mesjid awalnya merupakan warga relokasi dari kawasan yang sekarang menjadi PLTA Kotopanjang. Pada tahun 1992, 5 desa di kawasan ini ditenggelamkan untuk membangun waduk PLTA.

Akhirnya, masyarakat pindah menuju desanya yang sekarang. Tahun 1995-1998 desa ini berada di ambang kemiskinan. Penyebabnya, uang ganti rugi yang didapat masyarakat untuk pindah ke desa yang baru hampir habis. Sementara kebun karet yang didapat sebagai bagian ganti rugi belum menghasilkan.

Saat itulah muncul naluri untuk berbudidaya ikan. Sebabnya, di desa yang lama penduduk juga sangat terbiasa dengan ikan. Namun, itu ikan tangkapan karena mereka tinggal di pinggir Sungai Kampar yang ikannya masih sangat banyak ketika itu.

Tahun 1998 sudah ada beberapa kolam ikan di Kotomesjid. Beberapa jenis ikan coba dibudidayakan seperti nila, lemak dan mas. Namun, saat itu masih dikelola secara tradisional.

Sampai kemudian masuk Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Marpoyan, Pekanbaru membawa teknologi budidaya perikanan di kampung ini. Awalnya, banyak kesulitan yag dihadapi masyarakat dalam mengembangkan budidaya ikan.

Penyebabnya, harga pakan dan benih yang mahal. Perlahan, setelah teknologi budidaya diterapkan barulah harga benih dan pakan turun. Bahkan, ketika itu pula Riau bisa memproduksi benih sendiri.

Potensi perikanan di Kotomesjid memang memberikan dampak yang luar biasa bagi kemajuan desa ini. Total luas kolam patin di Koto Mesjid saat ini telah mencapai 62 hektar. Jumlah ini akan terus bertambah karena tiap hari ada saja penambahan kolam baru.

Hasil produksinya pun tak tanggung-tanggung. Enam ton per hari bisa dihasilkan oleh desa ini. Putaran uangnya jangan ditanya. Bila dihitung dari hasil panen saja, putaran uang di Kampung Patin ini mencapai Rp 90 juta per hari.

Potensi besar di bidang perikanan ini, membuat masyarakat Desa Koto Mesjid mampu bebas dari ancaman pengangguran. Seluruh masyarakat di sini berhasil diserap oleh budidaya perikanan. Hal ini jelas memberikan dampak ekonomi yang luar biasa bagi Kampung Patin.

Tak hanya berhasil dengan ikan segar, masyarakat di desa ini kini juga telah mampu memproduksi berbagai olahan dari ikan patin. Sebut saja ikan asap atau salai, nugget ikan, bakso ikan dan abon ikan.

Bahkan, desa ini telah mempunyai sentra pengolahan ikan sendiri. Di sentra ini terdapat lebih dari 50 tempat penyalaian. Tiap harinya, sentra ini membutuhkan 3 ton ikan sebagai bahan baku. Tak heran, sentra ini mampu memproduksi sekitar 3 ton ikan salai per minggu. Artinya, 12 ton ikan salai bisa dihasilkan per bulannya.

Nama Suhaimi tidak bisa dipisahkan dari keberhasilan Desa Kotomesjid dalam membangun budidaya perikanannya. Sarjana Perikanan dari Universitas Riau ini merupakan pelopor dalam budidaya perikanan di Desa Kotomesjid.

Suhaimi yang saat itu bekerja di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian melihat potensi perikanan di desa ini sangat besar. Tentunya, bila dikelola secara baik dengan menggunakan standar teknologi. Dia pun memutuskan untuk tinggal di tempat ini.

Langkah yang diambilnya tak salah. Apa yang dilakukannnya selama bertahun-tahun membuahkan hasil. Budidaya ikannya berhasil memberikan kesejahteraan. Langkahnya inilah yang diikuti masyarakat di Kotomesjid. Hingga saat ini, seluruh masyarakat di Kampung Patin ini telah memiliki kolam ikan.

Katanya, mengajak masyarakat memang tidak bisa dengan ceramah. ‘’Harus dengan contoh dan keberhasilan kita,’’ katanya kepada tripriau.com seperti dikutip potretnews.com.

Saat ini di kawasan rumahnya di Desa Kotomesjid, Suhaimi telah mempunyai dua unit tempat pembenihan ikan serta dua pabrik pakan yang mendukung 7 hektar luas kolam milikinya.

Kawasan budidaya perikanan ini sekaligus, bisa dijadikan sebagai sarana penelitian, baik oleh dosen, mahasiswa, penyuluh maupun petani ikan. ***

(Akham Sophian)
Kategori : Potret Riau
wwwwww