Wujudkan Kimia Hijau Melalui Olahan Sampah Organik

Wujudkan Kimia Hijau Melalui Olahan Sampah Organik
Senin, 31 Oktober 2022 17:51 WIB

Oleh Yasriana Ratih, SPd

IDE Kimia Hijau pada awalnya dikembangkan sebagai tanggapan terhadap Undang-Undang Pencegahan Polusi tahun 1990, yang menyatakan bahwa kebijakan nasional Amerika Serikat harus membatasi atau mengurangi polusi dengan menggunakan desain proses yang lebih baik (termasuk produksi perubahan dalam biaya produk, proses pembuatan, penggunaan bahan mentah, dan daur ulang).

Apa itu Kimia Hijau? Pengertian secara umum green chemistry adalah suatu metode baru untuk mengurangi bahaya bahan kimia, di samping memproduksi produk dengan cara yang lebih efisien dan lebih hemat (Kenneth & James, 2004). Selain itu, Kimia Hijau juga disebut kimia berkelanjutan, adalah cabang ilmu kimia yang menganjurkan desain produk dan proses kimia untuk mengurangi atau menghilangkan penggunaan dan pembentukan senyawa-senyawa berbahaya.

Pada tahun 1998, Paul Anastas bersama dengan John C Warner mengembangkan 12 prinsip yang dijadikan sebagai panduan dalam praktik Kimia Hijau. Kedua belas prinsip tersebut membahas berbagai cara untuk mengurangi dampak dari produksi bahan-bahan kimia terhadap lingkungan dan kesehatan manusia, serta juga menunjukkan prioritas penelitian dalam pengembangan teknologi Kimia Hijau.

Dua belas prinsip Kimia Hijau yang dikembangkan oleh Paul Anastas dan John C Warner, yaitu:

1. Pencegahan
Lebih baik melakukan pencegahan terhadap produksi limbah, daripada mengolah dan membersihkan limbah.

2. Ekonomi atom
Melalui metode sintetis baru yang dirancang untuk memaksimalkan penggabungan semua bahan yang digunakan dalam proses ke dalam produk akhir, sehingga limbah yang dihasilkan lebih sedikit.

3. Sintesis kimia yang tidak berbahaya
Metode sintetis harus menghindari penggunaan atau menghasilkan zat-zat yang beracun bagi manusia maupun lingkungan.

4. Merancang bahan kimia yang lebih aman
Produk kimia yang dihasilkan harus dirancang untuk mempengaruhi fungsi yang diinginkan dan meminimalkan tingkat toksisitasnya.

5. Pelarut dan alat bantu yang lebih aman
Sebisa mungkin menghindari atau meminimalkan penggunaan bahan pembantu (seperti zat pelarut, zat pemisah, dan sejenisnya), dan menggunakan zat pelarut atau bahan pembantu yang bersifat lebih aman yang tidak berbahaya bagi lingkungan apabila harus digunakan.

6. Desain untuk efisiensi energi
Persyaratan energi dari proses kimiawi untuk meminimalkan dampak terhadap lingkungan dan ekonominya. Apabila memungkinkan menggunakan metode sintetis dilakukan pada suhu dan tekanan sekitar.

7. Penggunaan bahan baku terbarukan
Bahan mentah atau bahan baku yang digunakan harus dapat diperbaharui (jika memungkinkan secara teknis dan ekonomis).

8. Mengurangi derivatif atau turunan
Mengurangi turunan yang tidak perlu (penggunaan kelompok pemblokiran, perlindungan, modifikasi sementara proses fisik atau kimiawi) atau dihindari apabila memungkinkan, karena langkah-langkah tersebut memerlukan reagen tambahan dan dapat menghasilkan limbah.

9. Katalisis
Penggunaan reagen katalitis (seselektif mungkin) lebih baik daripada reagen stoikiometri.

10. Desain untuk degradasi
Produk kimia yang dihasilkan harus dirancang sedemikian rupa sehingga pada akhir fungsinya, produk tersebut dapat terurai menjadi produk degradasi yang tidak berbahaya dan tidak bertahan lama di lingkungan.

11. Analisis real-time untuk pencegahan polusi
Pengembangan metodologi analitik yang diperlukan untuk memungkinkan analisis real-time untuk pencegahan polusi, pemantauan dan pengendalian dalam proses sebelum pembentukan zat berbahaya.

12. Penggunaan bahan kimia yang lebih aman secara Inheren untuk pencegahan kecelakaan
Penggunaan zat dalam proses kimia apabila memungkinkan menggunakan zat kimia yang berpotensi rendah kecelakaan, termasuk ledakan, kebakaran, dan sejenisnya

Merujuk pada prinsip Kimia Hijau pada point pertama untuk mengurangi produksi limbah, maka kita bahas produksi limbah dalam skala kecil yaitu limbah rumah tangga (sampah dapur).

Setiap hari pasti di rumah kita menghasilkan sampah dapur, kan? Sampah-sampah tersebut terdiri dari sisa makanan dan bahan-bahan lain yang tidak bisa dipakai lagi. Nah, sampah dapur ini sebaiknya dikelola agar tidak menumpuk dan membuat lingkungan kotor.

Lalu, bagaimana sebaiknya kita memanfaatkan sampah agar bisa dikelola? Langkah pertama yang bisa kita lakukan dengan memisahkan sampah-sampah dapur. Karena sampah secara umum digolongkan kedalam sampah organik dan sampah anorganik Sampah organik adalah sampah yang mudah membusuk secara alami, seperti buah, sayuran dan sisa makanan. Sedangkan, sampah anorganik adalah sampah yang tidak bisa membusuk secara alami, contohnya sampah plastik, kaleng, pecahan kaca dan lain-lain.

Berikut ini cara mengelola sampah organik:
1. Dijadikan pupuk tanaman (kompos)
Sampah dapur organik juga bisa dijadikan pupuk. Kalau teman-teman suka berkebun, bisa manfaatkan sampah dapur ini sebagai pupuk yang hemat. Pupuk kompos adalah jenis pupuk organik yang berasal dari penguraian sampah organik seperti daun kering. Pembuatan kompos ini bisa dilakukan secara alami. Namun saat ada tindakan dari manusia seperti penambahan mikroorganisme pengurai, pengomposan terjadi lebih cepat. Cara membuat kompos sangat mudah dan kandungan haranya juga cukup lengkap sehingga sangat berguna untuk budidaya tanaman.

Berdasarkan penjelasan di Prosiding Seminar Hasil Pengabdian Kepada Masyarakat (SNPP2M), berikut ini langkah-langkah membuat kompos dari sampah organik:
1. Siapkan bahan kompos seperti sampah dari daun-daunan, kotoran ayam, arang sekam, EM4, gula pasir, dan air.
2. Kemudian buat starter dengan cara melarutkan gula dengan air. Selanjutnya tambahkan EM4 dalam starter dengan takaran yang telah ditentukan.
3. Tahap selanjutnya, diamkan starter selama 24 jam. Lalu campurkan seluruh bahan untuk membuat kompos seperti daun, kotoran ayam, dan arang sekam.
4. Siram bahan dengan starter yang sudah dibuat kemudian aduk sampai merata.
5. Diamkan kompos tersebut selama kurang lebih 17 hari. Apabila bahan tersebut sudah berwarna kehitaman, maka kompos telah siap digunakan.

2. Dijadikan ECO Enzyme
Eco Enzyme adalah suatu produk dari pengupayaan sampah organik rumah tangga untuk diolah dengan cara difermentasi menjadi cairan serbaguna yang sangat bermanfaat bagi lingkungan sehingga Eco Enzyme sering dikenal dengan cairan sejuta manfaat.
Pada dasarnya, Eco Enzyme ini akan mempercepat reaksi bio-kimia di alam untuk menghasilkan enzim yang berguna menggunakan ampas buah atau sayuran. Pengolahan sampah organik ini bisa menjadi salah satu cara manajemen sampah yang memanfaatkan sisa-sisa dapur untuk sesuatu yang sangat bermanfaat.

Eco Enzyme pertama kali diperkenalkan oleh Dr Rosukon Poompanvong yang merupakan pendiri Asosiasi Pertanian Organik Thailand. Pada mulanya tujuan dari penelitian ini untuk mengolah enzim dari sampah organik yang biasanya dibuang ke dalam tong sampah menjadi pembersih organik, atau sebagai pupuk alami dan pestisida yang efektif. Lama kelamaan bermunculan berbagai macam manfaat Eco Enzyme buah dari penelitian terus menerus.

Eco Enzyme tidak hanya sebatas digunakan untuk pupuk dan pembersih organik saja, melainkan juga dimanfaatkan untuk pengusir hama, penyaring udara, mengurangi polusi, mencegah efek rumah kaca, penjernih air, pembersih luka dan juga bermanfaat untuk kulit.

Berikut ini langkah-langkah membuat Eco Enzyme dari sampah organik berupa kulit buah dan sayuran:
1. Siapkan wadah plastik bekas yang bisa ditutup rapat. Jangan gunakan wadah berbahan logam karena kurang elastis. Proses fermentasi akan menghasilkan gas sehingga membutuhkan wadah yang elastis
2. Masukkan 500 ml air ke dalam wadah plastik diikuti dengan 50 gram gula merah dan 150 gram kulit buah/sayuran (perbandingan air : gula merah : kulit buah/sayuran yaitu 10 : 1 : 3)
3. Masukkan ke dalam wadah ukuran 1,5 liter agar terdapat ruang kosong untuk gas
4. Dalam 1 bulan pertama, gas akan dihasilkan dari proses fermentasi. Aduk atau jungkir balikkan wadah/botol plastik dilanjutkan dengan membuka tutup wadah/ botol plastik setiap hari selama 1 bulan pertama
5. Simpan di tempat dingin, kering dan berventilasi. Hindari sinar matahari langsung dan jangan disimpan di dalam kulkas!
6. Fermentasi berlangsung selama 3 bulan (untuk daerah tropis) dan 6 bulan (untuk daerah subtropis)
7. Setelah 3-6 bulan, Eco Enzyme siap dipanen. Saring larutan Eco Enzyme masukkan ke wadah yang tertutup.
8. Eco Enzyme siap diaplikasikan sesuai kebutuhan.

Artikel ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat untuk tata cara pengelolaan sampah organik rumah tangga. Wujudkan Kimia Hijau mulai dari hal sederhana yang ada di lingkungan kita. ***

*Penulis adalah Guru SMAN 3 Bengkalis

Kategori : Opini
wwwwww