Pilkada dan Perilaku Elite Lokal

Pilkada dan Perilaku Elite Lokal

Ilustrasi/F-MEDIAINDONESIA.com

Kamis, 21 Oktober 2021 14:13 WIB

Oleh Eddy Asnawi*

SESUATU yang diharapkan dalam Pilkada langsung oleh rakyat dengan asumsi akan lebih demokratis, aspiratif, dan legimate. Ternyata mendorong berjangkitnya moral pragmatisme, Moral pragmatisme inilah yang membuat politik uang mewarnai setiap Pilkada, mengekalkan oligarki kekuasaan, menelan anggaran yang sangat tinggi dan memicu politisasi birokrasi.

Fenomena itu memperkuat dugaan Pilkada terbukti gagal memilih kepala daerah yang baik. Demokrasi di level pemerintahan daerah hanya dipahami sebatas prosedural formal belaka. Secara kultural demokrasi akan subur bila ditopang oleh tingkah laku yang demokratik.

Pertanyaan kemudian, apakah demokrasi di tingkat pemerintahan daerah yang berjalan selama ini melalui Pilkada akan dapat memenuhi harapan menghasilkan kepala daerah yang berkarakter yang demokratik atau sebaliknya terbukti gagal memilih kepala daerah yang baik dan bermoral.

Dalam catatan Kementerian Dalam Negeri, ada sekitar 863 kepala daerah yang dipilih secara langsung dari tahun 2005 hingga november 2012, sebanyak 280 orang atau 16,2 % diantaranya terjerat masalah hukum, terutama korupsi (83%).(kompas, november 2012). Begitu juga catatan KPK terbaru, kurang lebih 22 orang dari 34 Gubernur seluruh Provinsi, dan 122 orang dari 542 Bupati/Walikota tejerat masalah korupsi.

Tingginya angka korupsi ini, dikaitkan dengan mahalnya biaya politik Pilkada. Misalnya, seorang gubernur bisa mengeluarkan biaya Rp 60 miliar sampai Rp 200 miliar. Biaya politik yang dikeluarkan itu tentunya tak sesuai dengan pendapatan resminya yang bakal diterima sebagai seorang gubernur.

Kita bisa bayangkan bagaimana mungkin gubernur akan dapat mengembalikan modal yang telah ia keluarkan. Maka muncul fenomena perilaku menyimpang (tindakan yang diluar kewajaran) untuk menyalahgunakan kekuasaannya dengan cara melakukan korupsi.

Beberapa kategori bentuk tindakan perilaku penyimpang; politik uang (money politics), Penyalahgunaan kewenangan, melakukan korupsi, dan tindakan yang menyangkut masalah moral dan susila. Korupsi sudah merusak dari awal dengan menjangkiti sistem pengisian jabatan kekuasaan. Pola pengisian kekuasaan yang dilakukan melalui proses pemilu yang dicitrakan penuh dengan penyimpangan itu menyebabkan hasilnya adalah pejabat-pejabat yang juga koruptor. Korupsi semacam ini, disebabkan penyimpangan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

Dari sisi substansi, pilkada diharapkan bisa melakukan proses seleksi pemimpin yang dinilai rakyatnya terbaik untuk melakukan perubahan yang menjanjikan dan memberi manfaat kepada masyarakat luas. Ternyata dalam realitasnya proses rekrutmen, aspek kualifikasi kemampuan termarjinalkan oleh faktor popularitas, kemampuan finansial, dan partai politik pengusung.

Di sinilah proses seleksi pemimpin menjadi bias. Proses seleksi pencalonan kepala daerah secara fakta menunjukan telah dibajak oleh kepentingan modal dan kekuasaan, sebagai akibat tingginya biaya politik pilkada

Proses politik dalam pilkada, seringkali mengabaikan rekam jejak dari calon kepala daerah. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan proses seleksi kepemimpinan di daerah tidak terseleksi dengan baik. Rekam jejak dari seorang kepala daerah haruslah menjadi isu yang perlu dikemukakan di ranah publik, agar masyarakat dapat memberikan penilaian terhadap calon kepala daerah.

Rekam jejak yang dimaksud berupa pandangan, sikap perilakunya tentang komitmen dan konsistensinya, misalnya terhadap nilai-nilai keadilan, kejujuran dan penegakkan hukum. Dalam tataran praktis tercermin dalam ketauladannya sebagai seorang pemimpin. Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Sehingga keterlibatan/partisipasi masyarakat dalam menentukan calon pemimpin daerahnya yang layak, referensi rekam jejak sang calon menjadi salah satu barometer hendaknya dalam proses seleksi pemimpin daerah melalui pilkada. ***

https://www.potretnews.com/assets/imgbank/04092021/potretnewscom_rtplb_2211.jpg*Penulis, Dr H Eddy Asnawi SH MHum adalah pengamat sosial, berdomisili di Pekambaru.

Kategori : Opini
wwwwww