Tentang Partisipasi Pemilih dalam Pemilu

Tentang Partisipasi Pemilih dalam Pemilu

Khery Sudeska.

Senin, 20 Agustus 2018 11:39 WIB

Oleh Khery Sudeska*

PARTISIPASI pemilih yang rendah selalu menjadi salah satu masalah yang harus diantisipasi oleh penyelanggara pemilu dalam setiap pemilu atau pun pemilihan kepala daerah.

Meskipun kemudian, juga menjadi debatable apakah tingginya parisipasi pemilih ikut mejadi ukuran semakin tingginya kualitas demokrasi.

Namun, menjadi jelas, bahwa pemilu dengan tingkat partisipasi rendah adalah problem. Karena pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih wakilnya dan pemimpin lima tahun berikutnya.

Pemilu dengan partisipasi yang rendah seperti mengadakan acara pesta dengan persiapan dan biaya yang besar, tapi sepi pengunjung.

Oleh karena itu, saya menjadi tertarik untuk mencermati penyebab munculnya problem ini dan membuka wacana mengenai langkah-langkah apa yang mesti kita lakukan untuk meningkatkan partisipasi pemilih.

Pertama, penjaringan dan seleksi calon wakil rakyat dan pemimpin yang kompeten oleh partai politik. Hadirnya calon wakil rakyat dan pemimpin yang kompeten akan mempengaruhi minat masyarakat untuk memilih.

Rakyat ingin wakil dan pemimpinnya adalah orang-orang yang peka dan responsif terhadap persoalan kehidupan yang mereka hadapi. Mereka ingin wakil rakyat yang punya niat tulus mewakili mereka.

Hal ini tentu harus dimulai dari sistem perkaderan di partai politik. Calon yang muncul haruslah benar-benar dari hasil proses perkaderan di partai, yang benar-benar mengerti dengan tujuan, visi dan misi partai, bukan calon yang hanya berkantong tebal saja.

Partai harus rutin melakukan proses perkaderan tentang pembentukan watak dan karakter kader, mengajarkan strategi pemenangan dengan biaya yang efektif dan efisien, sehingga biaya untuk pemenangan pemilu dapat diminimalisir dan kader yang punya kualitas tapi tak berkantong tebal punya kesempatan.

Sejauh ini partai politik lebih tertarik kepada calon yang berkantong tebal saja dengan pertimbangan dapat menghimpun biaya pemenangan pemilu dengan mudah, sehingga kalkulasi biaya politik menjadi tinggi dan masyarakat pemilih menjadi pragmatis. Pemilih yang hadir di TPS adalah pemilih yang dimobilisasi, bukan pemilih yang mandiri dan otonom. Bukan pemilih yang mememilih, tapi pemilih yang ”dipilihkan”.

Kedua, sistem pemilu yang menciptakan pendekatan yang lebih tajam antara wakil rakyat dengan pemilih. Kita semua tentu punya mimpi yang sama, bahwa wakil rakyat punya kedekatan dengan pemilihnya, sehingga persoalan-persoalan yang dirasakan rakyat langsung dapat diserap oleh para wakilnya. Bukan wakil rakyat yang hanya datang kepada pemilih sekali lima tahun, ketika pemilu saja.

Hasil survey Indonesia Network Election Survey (INES) di tahun 2014 menunjukkan, bahwa masyarakat banyak yang tahu bahwa ia sebenarnya terdaftar dalam DPT, tapi pada hari H tidak punya keinginan datang ke TPS. Ini ada apa? Tentunya karena mereka tidak punya ekspektasi yang pasti dalam pemilu.

Oleh sebab itu, kita agaknya perlu lebih berani untuk menerapkan sistem pemilu yang menciptakan kedekatan yang lebih tajam di antara keduanya. Hal ini juga akan pelan-pelan mempengaruhi kompetensi wakil rakyat yang muncul ke permukaan. Karena sesungguhnya, wakil rakyat dan pemimpin itu adalah produk interaksi elit dan rakyatnya.

Ketiga, sosialisasi yang mendalam tentang kesadaran rakyat mempunyai hak pilih. Setiap satu suara ikut serta mempengaruhi dan menentukan wakil dan pemimpin seperti apa di lima tahun akan datang. Kesadaran rakyat secara menyeluruh akan hak pilihnya akan membentuk kesadaran kolektif rakyat.

Kesadaran kolektif ini akan membentuk formulasi keinginan rakyat tentang wakil dan pemimpin seperti apa yang diinginkan dan dipilih. Muaranya, elit partai tentu akan mempertimbangkan hal itu. Komunikasi antara elit dan rakyat itu akan menjadi lebih interaktif dan terpola. Pada gilirannya, visi dan misi partai akan menjadi selaras dengan keinginan rakyat.

Tiga wacana di atas, saya kira, penting menjadi titik berat perhatian kita dalam hal meningkatkan partisipasi pemilih dalam pemilu disamping pembenahan hal teknis lainnya, seperti pembenahan DPT, dan sebagainya. Tiga hal tersebut merupakan basis argumentasi kenapa rakyat harus menyertakan suaranya dalam pemilu. Dan, sebagai sebuah wacana, ketiga hal tersebut tentu saja masih dapat diperdebatkan. ***

*Penulis tinggal di Pekanbaru.

Kategori : Opini
wwwwww