87 Tahun Sumpah Pemuda

87 Tahun Sumpah Pemuda

Ilustrasi.

Sabtu, 31 Oktober 2015 20:39 WIB
KONFLIK atas nama agama di Tolikara dan Aceh Singkil seharusnya jadi refleksi khusus bagi kita dalam memeringati 87 Tahun Sumpah Pemuda sebagai cikal bakalnya NKRI. Sejumlah anak muda tanpa memersoalkan identitas suku dan agama bersatu atas nama satu bahasa Keindonesiaan. Sekelompok anak muda yang punya intelektual, kemudian dipadukan dengan integritas dan spirit untuk bersama dalam identitas keIndonesiaan melakukan ikrar yang sama, sebuah identitas baru atas nama bangsa Indonesia.

Ini merupakan puncak dari sebuah pergerakan anak muda yang tanpa pamrih menginginkan sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat. Apa yang dilakukan oleh anak-anak muda 87 tahun yang lalu merupakan cerminan, betapa sebuah negara ingin segera terwujud bernama bangsa Indonesia yang satu tanpa peduli perbedaan.

Sumpah pemuda merupakan puncak dari kebangkitan nasional setelah sebelumnya Budi Utomo 1908 melakukan start keindonesiaan. Tujuan sumpah pemuda sebagai salah satu tonggak sejarah negara ini sudah sangat jelas, lepas dari penjajahan Belanda dan ingin menjadi negara merdeka demi perbaikan hidup semua bangsa Indonesia.

Yang paling mulia kita lihat dari sumpah pemuda ini adalah semangat anak-anak muda untuk dapat hidup bersama tanpa melihat latar belakang agama, suku, dan budaya. Mereka semua satu dan status yang sama, tekad juga satu satu bangsa, satu tanah, dan satu bahasa yaitu Indonesia.

Kebulatan tekad anak-anak muda kita, yang tanpa pamrih, tanpa imbalan, atau dalam ilmu ekonomi modern sekarang, tanpa "break event point" semangat mereka sungguh mengagumkan. Mereka berkumpul, tanpa takut intimidasi dan risiko dari pemerintah kolonial Belanda. Apa yang mereka lakukan sebagai gerakan bersama puncaknya pada tanggal 17 Agustus 1945 berdiri NKRI sebagai sejarah tidak akan pernah dilupakan oleh semua bangsa ini.

Ketika anak muda 87 tahun yang lalu dengan segala ide briliannya mampu memersatukan semua unsur yang berbeda (agama, suku, budaya) menjadi satu Indonesia, apa yang harus kita lakukan untuk mewariskan nilai-nilai kejuangan pemuda kita?

Masih adakah masyarakat kita, pemerintah kita (Jokowi dan kabinet kerjanya) yang mewarisi semangat juang pemuda 1928 dalam rangka pembangunan bangsa ke arah yang lebih baik? Saat ini pemerintahan kita terjebak dalam sebuah budaya yang sangat memalukan, korupsi.

Bahkan sekelompok masyarakat kecil (minoritas) saat ini mengalami intimidasi. Saat ini masalah Tolikara dan Singkil tidak selesai, jamaah Ahmadyah, dan Suni mengalami intimidasi.Padahal, sebagai warga negara hak kebebasan beragama termaktub dalam UUD 1945 dengan sangat jelas.

Lantas, mengapa sekelompok minoritas ini tidak bisa nyaman di negeri sendiri, bahkan negara terkesan takut pada sekelompok massa yang menekan pemerintah. Ini sangat membahayakan dalam proses berbangsa dan bernegara kedepannya.

Bagaimana mencegah terjadinya disintegrasi bangsa harus segera dipikirkan. Pemerintahan yang korup misalnya harus diubah dengan melihat daya juang pemuda 1928 yang berkorban demi negara. Sementara pejabat kita punya gaji, tunjangan, plus berbagai fasilitas yang sangat memadai, tetapi tidak bisa melakukan yang terbaik kepada masyarakat dalam bentuk pelayanan.

Tujuan negara kesejahteraan (welfare state) masih jauh dari harapan. Saatnya semangat dan daya juang pemuda 87 tahun yang lalu dapat dijadikan sebagai renungan. ***

(M Yamin Indra)
Kategori : Opini
Sumber:Hariansib.co
wwwwww