MK Buka Jalan untuk Calon Tunggal

MK Buka Jalan untuk Calon Tunggal

Ilustrasi pasangan calon kepala daerah tunggal vs bumbung kosong.

Kamis, 01 Oktober 2015 10:24 WIB
AKHIRNYA Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi soal calon tunggal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. MK memerbolehkan calon tunggal untuk daerah yang akan melaksanakan Pilkada serentak periode pertama pada Desember 2015. Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi menilai bahwa undang-undang mengamanatkan Pilkada sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih kepala daerah secara langsung dan demokratis. MK menilai, jika Pilkada harus ditunda ke Pilkada selanjutnya hanya karena kurangnya calon, maka hak konstitusional rakyat untuk bisa memilih dan dipilih tidak terpenuhi. UU Nomor 8 tahun 2015 terkait Pilkada juga tidak memberi jalan keluar seandainya syarat 2 calon tidak terpenuhi. Penundaan Pilkada tidak serta merta menjamin syarat 2 calon tersebut akan terpenuhi di Pilkada selanjutnya. Jadi penundaan tersebut bertentangan drngan semangat demokrasi yang tertuang dalam UUD 1945. Oleh sebab itu Pilkada harus tetap dilaksanakan.

Namun, MK tidak sependapat dengan pemohon yang menyarankan dilakukan mekanisme dengan adanya calon kotak kosong. Hakim konstitusi memutuskan referendum untuk Pilkada yang hanya diikuti calon tunggal. Jika lebih banyak rakyat yang memilih setuju, maka diputuskan calon tersebut terpilih sebagai kepala daerah. Jika lebih banyak yang tidak setuju maka pemilihan ditunda ke Pilkada serentak selanjutnya. Ini menjadi sejarah baru bagi konstitusi Indonesia, khusus tentang calon tunggal.

Pemohon dalam uji materi ini adalah calon Wakil Wali Kota Surabaya, Whisnu Sakti Buana. Permohonan Whisnu secara administrasi diajukan pengurus DPC PDI-P Surabaya. Mereka mengajukan uji materi pasal 121 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, dan pasal 51 ayat 2, pasal 52 ayat 2 dan pasal 122 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Selain itu, terdapat dua pemohon lainnya yang mengajukan pasal yang sama yaitu Effendi Gazali, dan pemohon yang masing-masing terdiri dari Aprizaldi, Andi Siswanto, dan Alex Andreas.

Para pemohon merasa hak konstitusional pemilih dirugikan apabila pemilihan kepala daerah serentak di suatu daerah mengalami penundaan hingga 2017. Pasalnya, UU Pilkada mengatur bahwa syarat minimal pelaksanaan Pilkada harus diikuti minimal dua pasangan calon. Pelambatan pembangunan akibat penundaan Pilkada di beberapa daerah akan merugikan semua warga negara. Tidak adanya kepala daerah definitif membuat kebijakan pembangunan tidak dapat berjalan secara efektif.

Saat ini, ada tiga daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon kepala daerah, yaitu Kabupaten Blitar, Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Timor Tengah Utara di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Sebelumnya ada tujuh daerah yang memiliki calon tunggal. Namun setelah perpanjangan waktu pendaftaran, ternyata ada lebih dari satu calon untuk Pilkada Kota Surabaya, Kota Samarinda, Kota Mataram, dan Kabupaten Pacitan.

Sudah seharusnya kehadiran calon tunggal dalam Pilkada tetap dianggap sebagai sesuatu hal yang demokratis. Realitas politik menunjukkan, calon tunggal di era pemilihan langsung kepala daerah lahir dari sebuah proses yang demokratis. Partai politik (parpol) telah diberi kesempatan mengajukan calon-calon terbaiknya dan masyarakat mengajukan calon kepala daerah tanpa melalui parpol. Jadi wajar akhirnya MK memutuskan mengakomodasi calon tunggal dengan syarat tertentu, yakni melalui referendum. ***

(Akham Sophian)
Kategori : Opini
Sumber:Hariansib.co
wwwwww