Balada Guru Honorer; Mengabdi Tiada Henti meski Penghasilan Tak Memadai

Balada Guru Honorer; Mengabdi Tiada Henti meski Penghasilan Tak Memadai

Sumaryoto bicara tentang minimnya kesejahteraan guru tidak tetap (honorer) di ruang kerjanya, Sabtu (23/11/2019).

Roni/Muhammad Amin
Senin, 25 November 2019 02:54 WIB
JAKARTA, POTRETNEWS.com — Keseriusan pemerintah dalam menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang unggul dan layak sering dipertanyakan masyarakat mengingat perhatian terhadap guru bisa dikatakan belum memadai. Masih banyak penghasilan tenaga pengajar (honorer) jauh dari kata layak. Dengan penghasilan yang kecil, tentu guru sulit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Fakta-fakta seputar minimnya kesejahteraan guru turut menjadi keprihatinan dari salah seorang pemerhati pendidikan yang saat ini menjabat Rektor Universitas Indraprasta (Unindra) PGRI Jakarta, Sumaryoto.

"Kalau bicara pendidikan, bicara guru, itu masalahnya sangat kompleks. Bicara kesejahteraan guru, sertifikasi guru, itu tidak semudah kita membahas atau diskusi suatu masalah. Ini sangat kompleks. Contoh paling gampang bicara soal guru saat ini ya sekarang ini, bagaimana guru bisa mengajar berkualitas baik, ya kalo penghasilannya belum memadai?” tandas Sumaryoto saat berbicang-bincang dengan potretnews.com di ruang kerjanya, Sabtu (23/11/2019) siang.

Pria asal Kebumen yang bergelar profesor dan doktor ini mengaku miris karena masih banyak tenaga pengajar yang berpenghasilan rendah.

"Banyak guru yang statusnya belum pegawai tetap. Bisa dibayangkan itu mengajarnya? Dia dapat honorarium Rp.600.000 sebulan. Bisa dibayangkan bagaimana kualitas pembelajaran. Bagaimana mau mencetak generasi yang unggul? Lah, (kesejahteraan) gurunya begini. Ini yang pemerintah sepertinya lepas tangan atau saling lempar,” paparnya.

Dia juga menyayangkan terlalu banyaknya aturan yang tidak rasional untuk diterapkan di dunia pendidikan. Contohnya; pengelolaan sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) manajemen pengelolaannya diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota, sementara sekolah menengah atas (SMA) dipegang oleh pemerintah provinsi.

”Apalagi sekarang, yang menangani guru SD dan SMP, (pemerintah) kabupaten/kota. SMA (pemerintah) provinsi. Nah, ini aja udah beda-beda,” ungkap Sumaryoto, merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Dalam UU tersebut dicantumkan soal pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Salah satunya adalah pembagian urusan pemerintahan bidang pendidikan.

Bersempena HUT ke-74 PGRI dan Hari Guru Nasional 2019 pada 25 November, dia berpesan kepada seluruh guru untuk tetap selalu semangat dalam mengajar dan bersifat lebih sabar dalam mengajar agar menjadi ladang pahala.

”Sebab dengan membuat anak bodoh menjadi pintar dan mengubah anak nakal menjadi anak baik merupakan ladang amal. Itulah tugas guru,” ujarnya.

Secara khusus Sumaryoto berharap pemerintah untuk lebih memikirkan nasib dan kesejahteraan guru seadil-adilnya khususnya guru-guru di daerah terpencil. ***

Kategori : Nasional
wwwwww