Sang Naualuh Damanik, Raja Siantar XIV yang Dibuang Belanda ke Bengkalis dan Sempat Jadi Guru Mengaji di Pengasingan, tapi Status Kepahlawanannya ”Digantung”

Sang Naualuh Damanik, Raja Siantar XIV yang Dibuang Belanda ke Bengkalis dan Sempat Jadi Guru Mengaji di Pengasingan, tapi Status Kepahlawanannya ”Digantung”

Foto Raja Siantar XIV, Sang Naualuh Damanik.

Wawan Setiawan
Sabtu, 15 Oktober 2016 09:15 WIB
BENGKALIS, POTRETNEWS.com – Warga Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun di Provinsi Sumatera Utara (Sumut) pastilah sudah sering mendengar nama Sang Naualuh Damanik. Namun, tidak banyak orang mengetahui siapakah sebenarnya ”Sang Naualuh” itu. Apa dan bagaimana peranannya dalam pembangunan di Pematangsiantar dan Simalungun termasuk dalam membela agama Islam. Raja Sang Naualuh Damanik, lahir di Pematangsiantar tahun 1857. Dia pernah memerintah Kerajaan Siantar dari tahun 1882–1904 dan tercatat sebagai Raja XIV (ke-14) dari Dinasti Siantar (1350-1904). Selama memimpin Kerajaan Siantar (1882-1904), Raja Sang Naualuh gigih berjuang menentang penjajahan Belanda, baik secara fisik maupun secara politis.

BACA JUGA:

. Inilah Sejarah Kota ”Siantar Man” Berikut Foto Jadulnya

. Martua Sitorus, Raja Minyak Sawit dari Siantar

. JR Saragih Pimpin Partai Demokrat Sumut, Kalahkan Incumbent HT Milwan di Musda III

. Tercatat sebagai Pejabat Dishubkominfo Bengkalis, Pria yang Disebut-sebut sebagai Adik Bupati Amril Mukminin Dikabarkan Setahun Tak Ngantor

Akibat perlawanan dan penolakannya menandatangani tanda takluk kepada Belanda yang dikenal dengan Korte Verklaring (perjanjian pendek) akhirnya putra terbaik Simalungun tersebut ditangkap penjajah Belanda pada 1904.

Meskipun sudah menahan Raja Siantar itu selama dua tahun, namun penjajah Belanda belum juga merasa puas, hingga akhirnya Belanda mengasingkan Raja Sang Naulauh untuk seumur hidup ke Pulau Bengkalis pada tahun 1906. Selama memimpin Kerajaan Siantar, Raja Sang Naualuh sangat dicintai rakyatnya. Beliau juga dikenal sebagai pelopor, penganut dan pelindung agama Islam, khususnya di Kerajaan Siantar. Di samping itu, Raja Sang Naualuh sebagai perintis pembangunan Kota Pematangsiantar-Simalungun.

SIMAK:

. Seruput Kopi di Kedai Tertua Pematangsiantar, Sedap!

. Maknyus! Roti Ganda Khas Pematangsiantar Bikin Ketagihan

Salah satu peranan Raja Sang Naualuh adalah membuka atau merintis jalan dari Pematangsiantar menuju Asahan, sekira 50 kilometer. Jalan dimaksud hingga saat ini menjadi jalan yang sangat vital, menghubungkan Pematangsiantar, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Batubara dan Asahan. Kalau dulu, nama jalan lebih dikenal dengan nama Jalan Asahan, saat ini nama jalan tersebut telah ditetapkan sebagai Jalan Sang Naualuh.

Raja Sang Naualuh mangkat di Bengkalis tahun 1914. Sebelum akhir hayatnya, beliau sempat menjadi guru mengaji di daerah pengasingannya. Sementara lokasi makamnya berada di tanah wakaf Syekh Budin bin Senggaro, Jalan Bantan, Desa Senggaro, Kecamatan/Kabupaten Bengkalis, Riau. Hingga saat ini makam Raja Siantar, Sang Naualuh terawat baik dan sering dikunjungi para peziarah, apakah itu peziarah dari Bengkalis, maupun yang datang dari Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun.

Seminar
Beberapa waktu lalu, Pemerintah Kabupaten Simalungun memiliki rencana menerbitkan buku sejarah tentang keberadaan Raja Sang Naualuh, sekaligus permohonan pemberian gelar pahlawan. Karena, menurut Ketua Bappeda Simalungun saat itu, Ir Muknir Damanik, sejarah perjuangan Sang Naualauh masih memerlukan pengkajian mendalam.

Diakui Muknir, ada beberapa buku sejarah yang menceritakan tentang Raja Sang Naualuh. Namun dikatakan, dari beberapa buku sejarah tersebut terdapat bagian-bagian yang berbeda pandangan, sehingga untuk menyatukan persepsi perlu dilakukan seminar yang melibatkan Pemkab Simalungun, Pemkab Bengkalis dan para tokoh budaya, akademika dan lainnya.

Terkait dengan rencana seminar dan penerbitan buku ini, menurut Muknir pihaknya ketika itu telah menghubungi langsung Pemkab Bengkalis. Melalui Asisten II Setdakab Bengkalis (saat masih dijabat Z Yusuf), menyatakan sangat bersimpati atas rencana Pemkab Simalungun untuk menerbitkan buku sejarah Raja Sang Naualuh itu. “Kami siap mendukung Pemkab Simalungun, apakah seminar diadakan di Siantar, di Jakarta bahkan di Bengkalis,” ujar Muknir menirukan ucapan Asisten II Setdakab Bengkalis kala itu.

	https://www.potretnews.com/assets/imgbank/15102016/potretnewscom_xqxqe_605.jpg
Makam Raja Siantar XIV, Sang Naualuh Damanik di Desa Senggoro Kabupaten Bengkalis, Riau, diabadikan beberapa tahun silam. 

Muknir juga menyatakan salut dan berterima kasih kepada Pemkab Bengkalis, karena hingga saat ini pemerintah Bengkalis tetap mengalokasikan dana anggaran perawatan makam Raja Pematangsiantar tersebut. ”Saya sudah saksikan dengan mata kepala sendiri, bahwa makam ’Oppung’ Sang Naualuh terawat dengan baik,” ucap Muknir.

Sebelum itu, tepatnya Sabtu(24/11/2012), beberapa sejarawan melaksanakan seminar memperingati 100 tahun wafat dan kepahlawanan Raja Siantar, Sang Naualuh Damanik (1913-2013), dengan tema "Kepahlawanan Sang Naualuh Damanik Menentang Kolonialisme Belanda di Sumatera Utara".

Seminar menghadirkan enam pakar sebagai narasumber yakni Prof Usman Pelly, Dr Asvi Warman Adam, Dr Suprayitno, Dr Ichwan Azhari, Edy Sumarno dan Muhammad TWH.

Menurut Ketua Panitia Seminar, Erond Damanik di Medan, salah satu dan bahkan satu-satunya penguasa lokal dari Sumatera Utara yang dimakzulkan dari kekuasaanya adalah raja dari Siantar pada waktu era kepemimpinan Sang Naualuh Damanik. Dia adalah raja Siantar yang ke-14 dengan masa kepemerintahan yang relatif singkat.

Pemerintahan yang singkat itu terjadi karena pada tahun 1905, dirinya tidak diakui lagi sebagai raja yang sah di Pematangsiantar oleh pemerintah Belanda.

Sebelumnya, sejak tahun 1888, kepercayaan pemerintah Belanda terhadap Sang Naualuh Damanik telah berkurang. Penobatan Sang Naualuh Damanik sebagai raja di Siantar pada tahun 1888 ternyata tidak memuluskan langkah Belanda untuk menguasai Siantar dan Simalungun.

Sang Naualuh Damanik menolak tegas verklaring tahun 1888 karena menyatakan kemerdekaan Siantar telah hilang. Tidak hanya itu, Sang Naualuh Damanik juga menolak kontrak yang ditawarkan oleh pemerintah kolonial pada tahun 1891.

Kontrak yang sengaja dibuat oleh pemerintah kolonial itu menempatkan Siantar sebagai subordinat Belanda yakni sebagai daerah takluk (vassal). Sang Naualuh Damanik dengan tegas menolak kontrak tahun 1891 itu, walaupun Belanda telah mencoba melakukan revisi pada beberapa pasal.

Apabila ditelisik kembali, sebenarnya Sang Naualuh Damanik memiliki kesempatan untuk tetap bertahta di singgasana kekuasaanya apabila ia mau bekerjasama dengan Belanda.

Lebih lanjut, apabila tindakan persuasif yang dilakukan oleh Belanda terhadap Sang Naualuh Damanik dapat diterima olehnya, maka tentu saja dirinya tidak dimakzulkan dan dibuang hingga ke Bengkalis.

Namun, sikap kepahlawanan dan patriotisme yang ditunjukkan oleh Sang Naualuh Damanik berupa penolakan terhadap intervensi Belanda, membuat dirinya ditangkap, difitnah, dipenjarakan tanpa diadili, dimakzulkan dari kekuasaanya, dibuang ke tempat lain dan meninggal dalam usia yang relatif muda.

Pendiriannya yang teguh dan tidak kenal kompromi, walaupun diketahui akan kehilangan posisi sebagai raja, menjadi tauladan yang tidak terhingga.

"Bagi kita, pelajaran berharga yang dapat diambil dari seorang Sang Naualuh Damanik ini adalah nasionalisme , mengayomi masyarakat , mengutamakan diplomasi, pendirian yang teguh, tegas dan berani. Karakter inilah yang membuatnya tetap setia kepada bangsanya, walau dirinya harus kehilangan singgasana kekuasaanya dan wafat sebagai patriot bangsa," ujarnya, suatu ketika.

Status Kepahlawanan ”Digantung”
Meski sejarah perjuangan Raja Siantar, Sang Naualuh Damanik melawan Belanda telah diketahui luas oleh publik, toh, hingga kini status kepahlawanannya seperti ”digantung”.

Pendapat yang mengemuka pada Forum Group Diskusi (FGD) Pengusulan Raja Sang Naualuh Damanik sebagai Pahlawan Nasional bertempat di Rumah Dinas Wali Kota, Jalan MH Sitorus, Pematangsiantar, Selasa (17/5/2016) silam antara lain, pengusulan Raja Siantar, Sang Naualuh Damanik menjadi pahlawan nasional membutuhkan lobi politik meski seluruh dokumen dan persyaratan teknis yang ada dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, sudah dipenuhi.

Lobi politik dilakukan guna meyakinkan pemerintah pusat, dalam hal ini panitia di Sekretariat Negara, agar usulan bisa lolos. Karena harus dimaklumi juga bahwa tim seleksi menerima banyak usulan serupa dari seluruh Indonesia yang harus mereka verifikasi.

Diskusi dipandu Eron Litno Damanik, yang juga dosen universitas di Medan. Hadir sebagai narasumber utama Pdt Dr Jr Hutauruk, Ephorus Emiritus Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang juga ahli sejarah gereja alumni Jerman dan Dr Suprayitno, Ketua Prodi Magister Ilmu Sejarah Universitas Sumatera Utara.

Kedua narasumber memaparkan sekilas fakta-fakta tentang aktivitas Sang Naualuh saat Belanda menguasai wilayah Kerajaan Siantar. Keduanya sepakat bahwa Sang Naualuh sangat layak diusulkan sebagai pahlawan nasional.

Berdasarkan referensi yang digali dari dokumen-dokumen dan buku laporan badan gereja di Jerman saat penyebaran injil di Simalungun, menurut Hutauruk, mereka mengakui Sang Naualuh sebagai raja.

”Sang Naualuh yang mengalami penjara seumur hidup wajar disebut pahlawan nasional,” tandasnya. Dalam kegiatan yang digagas Asosiasi Clan Damanik (ACD) ini, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Parlindungan Purba menegaskan pihaknya sangat mengapresiasi pengusulan Sang Naualuh sebagai pahlawan nasional.

”Saya akan menggalang teman-teman di DPD dan DPR-RI asal Sumatera Utara untuk memberikan dukungan atas usulan ini,” tuturnya.

Pendapat ini juga dikuatkan Dr Suprayitno, yang menambahkan perlunya ada hal-hal baru yang menjadi kelengkapan sebagai revisi pengusulan berikutnya, karena usulan pertama belum berhasil.

Apalagi, pengusulan gelar kepahlawanan hanya boleh diusulkan sebanyak dua kali ke pemerintah pusat. ”Dan itu pun tidak boleh ada pihak yang mengkomplain dokumen pengusulannya. Untuk itu, sangat dibutuhkan juga dukungan masyarakat dan tidak ada yang protes,” sebutnya.

Ketua ACD Prof Dr Ibnu Hajar Damanik mengharapkan dukungan semua pihak agar pengusulan tersebut bisa secepatnya terealisasi. Saat dialog dengan peserta yang dihadiri sejumlah pejabat teras Pemkot Pematangsiantar serta tokoh-tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pematangsiantar menggugah tim kerja agar menjelaskan lebih rinci, dukungan apa lagi yang dibutuhkan untuk kelengkapan berkas.

Penjabat Wali Kota Jumsadi Damanik mengingatkan agar seluruh masyarakat Pematangsiantar maupun Simalungun menjadikan lebih dulu Sang Naualuh sebagai pahlawan daerah.

Dengan begitu, tim seleksi dari Jakarta bisa memberikan penilaian positif dan objektif berdasarkan fakta-fakta yang ada serta penghormatan yang diberikan masyarakat.

”Jika mereka melihat monumen Sang Naualuh sudah berdiri, bekas istananya sudah kita lestarikan sebagai kawasan heritage, ada yayasan yang mengurusi pengelolaannya serta menobatkan cicit Sang Naualuh sebagai Raja Siantar XV, saya kira mereka juga akan mikir dan bersedia meloloskannya,” ujarnya. ***

Sumber:
Dikutip dari berbagai sumber

Kategori : Nasional
wwwwww