Jangan Gegabah Mutasi Pejabat

Jangan Gegabah Mutasi Pejabat

Ilustrasi/Bersih-bersih ruangan.

Jum'at, 26 Februari 2016 15:30 WIB
USAI pelantikan kepala daerah yang baru kerap diikuti kegelisahan pejabat. Mereka khawatir bakal dicopot atau dimutasi dari jabatannya. Apalagi saat pilkada, PNS yang bersangkutan tidak mendukung pemenang atau malah secara diam-diam memihak calon yang lainnya. Akibatnya berdampak terhadap kenyamanan kerja. Tak sedikit melakukan gerilya demi mempertahankan jabatan. Berbagai cara ditempuh untuk mencari dukungan politik asal tidak dicopot dari jabatannya. Di sisi lain, PNS yang mengincar jabatan tertentu akan melakukan pembusukan agar pejabat tertentu dicopot dengan berbagai modus antara lain yang bersangkutan merupakan pendukung calon lain saat Pilkada. Menjadi pejabat memang menggiurkan sehingga membuat banyak orang menghalalkan segala cara meraihnya.

UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada menegaskan kepala daerah dilarang untuk melakukan pergantian pejabat lingkungan pemerintahan daerah dalam jangka waktu enam bulan terhitung sejak tanggal pelantikan (Pasal 162 ayat 3). Meski begitu, pergantian PNS sebelum enam bulan secara prinsip boleh saja. Tapi untuk eselon II, sudah diatur tersendiri dalam UU Aparatur Sipil Negara (ASN). Jadi mutasi tak bisa dilakukan sesuka hati kepala daerah.

Pelarangan mutasi eselon 2 sebelum 6 bulan itu adalah bagi jabatan yang sudah terisi. Namun jika kosong, tetap saja bisa diisi oleh pelaksana tugas atau Plt. Artinya, peluang kepala daerah mengangkat pejabat baru masih memungkinkan di awal kekuasaannya, tetapi dibatasi hanya untuk jabatan yang lowong, bisa jadi karena pejabatnya pensiun, meninggal dunia, berhalangan tetap semisal sakit atau mengundurkan diri.

Kewenangan mutasi tetap dimungkinkan untuk jabatan di bawah eselon 2. Kepala daerah memiliki hak mengutak-atik pejabat mulai level eselon 4, eselon 3, kepala sekolah dan lain-lain. Sangat berbahaya jika dasar melakukan mutasi adalah karena dendam politik karena pejabat yang bersangkutan dianggap mendukung calon lain. Bahaya lain adalah jika karena balas jasa karena PNS yang bersangkutan merupakan pendukung setianya. Suka atau tak suka tak bisa menjadi dasar melakukan mutasi. Pengangkatan pejabat tetap mesti memenuhi syarat dan prosedur yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Mutasi karena balas jasa atau dendam mesti ditolak dengan tegas. Proses mutasi yang dilakukan usai Pilkada sebaiknya diawasi pemerintahan atasan dengan ketat.

Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menegaskan ASN harus melawan praktek-praktek politik balas jasa yang dilakukan kepala daerah usai Pilkada. Dalam UU ASN disebutkan hanya tunduk pada negara, bukan pada pemerintah. Pejabat hanya wajib melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai aturan yang ada. Meski membina hubungan baik dengan kepala daerah tetap penting, tetapi sebaiknya secara profesional, bukan karena sogokan dan lain-lain.

PNS yang mempunyai skill, profesionalisme, kemampuan serta tanggung jawab, sebenarnya tak perlu takut akan kena mutasi. PNS kebanyakan takut akibat ulah mereka sendiri karena ikut terlibat dalam politik saat Pilkada. Padahal itu sudah jelas sangat dilarang untuk mendukung atau berpihak. Politisasi PNS masih sering terjadi mengingat jumlahnya tak sedikit dan relatif mudah diarahkan karena organisasinya rapi.

Kepala daerah yang baru dilantik diharapkan jangan terburu-buru melakukan mutasi. Pejabat yang ada sebaiknya diberi kesempatan menunjukkan kinerjanya. Jika dalam jangka waktu yang ditentukan memang tidak mampu, maka kepala daerah sah-sah saja melakukan penggantian pejabat. Mutasi jangan menjadi sesuatu yang angker bagi PNS dan harus dianggap sesuatu yang biasa. ***

Sumber:
Hariansib.com



Kategori : Opini
wwwwww