Tunjangan DPR RI Naik saat Ekonomi Terpuruk

Tunjangan DPR RI Naik saat Ekonomi Terpuruk

Ilustrasi

Minggu, 20 September 2015 07:03 WIB
KETIKA perekonomian sedang terpuruk, nilai Rupiah makin tergerus dan indeks saham terus anjlok, saat itu pula DPR RI mengajukan kenaikan tunjangan untuk anggotanya ke pemerintah. Permintaan anggota dewan yang terhormat tersebut kemudian dikabulkan meski ada revisi di sana-sini. Nilai tunjangan itu bervariasi untuk ketua alat kelengkapan dewan, wakil, dan anggota. Kenaikan tersebut tercantum dalam Surat Menteri Keuangan No S-520/MK.02/2015 dengan hal persetujuan prinsip tentang kenaikan indeks tunjangan kehormatan, tunjangan komunikasi intensif, tunjangan peningkatan fungsi pengawasan dan anggaran, serta bantuan langganan listrik dan telepon bagi anggota DPR RI tanggal 9 Juli 2015.

Kenaikan tunjangan ini banjir kecaman dari berbagai lapisan masyarakat. DPR RI dituduh tidak berempati terhadap penderitaan rakyat yang makin dihimpit akibat persoalan ekonomi di dalam dan luar negeri. Makin banyak perusahaan yang terpaksa melakukan PHK (pemutusan hubungan kerja). Untuk bertahan hidup, banyak di antaranya berbondong-bondong mencairkan dana Jaminan Hari Tua (JHT) di BPJS Ketenagakerjaan. Bangsa ini sedang mengalami keprihatinan, tak tahu sampai kapan krisis ekonomi global yang berdampak ke Indonesia tersebut akan berakhir.

Manager Advokasi dan Investigasi Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Apung Widadi menduga adanya kongkalikong antara Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR RI dengan elit DPR dalam proses kenaikan tunjangan. Dia menilai kenaikan tunjangan akan mempengaruhi kenaikan porsi DPR dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016. Menurutnya DPR tidak pantas meminta kenaikan gaji. Kenaikan tunjangan yang diperkirakan mencapai 40 persen nantinya hanya akan dinikmati elite DPR RI, yakni pimpinan dan ketua alat kelengkapan dewan.

Kritikan lain disampaikan Direktur Eksekutif For Center Budget Analisys (CBA) Uchok Sky Khadafi. Menurutnya, kenaikan tersebut sungguh tidak rasional. Dia menganggap terlalu tinggi dibanding kinerja DPR RI masih minim dalam menyelesaikan RUU menjadi UU. Begitu juga dengan pelaksanaan tugas-tugas lainnya. UUD 1945 pasal 20A ayat 1 menegaskan ada tiga tugas utama DPR RI, yakni fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Legislasi berkaitan dengan pembuatan UU, dan fungsi anggaran untuk menyusun APBN. Sedangkan pengawasan untuk mengontrol pelaksanaan UU, APBN dan kebijakan pemerintah.

Namun, bukan anggota dewan namanya, jika tak bisa berkelit meski dikecam. Perbaikan tunjangan dikatakan sudah dibahas di rapat BURT (Badan Urusan Rumah Tangga) dan muncul berbagai usulan yang akhirnya disetujui pemerintah dengan berbagai koreksi. Kenaikan tunjangan menurut mereka dibutuhkan karena inflasi yang terjadi setiap tahun. Disebutkan tunjangan anggota DPR RI tak pernah naik selama 10 tahun terakhir.

Setali tiga uang, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro malah membela kebijakan menaikkan tunjangan DPR RI tersebut. Menurut dia, kenaikan tunjangan ini adalah sesuatu yang wajar dan tidak perlu dibesar-besarkan. Sebab tunjangan lembaga-lembaga lainnya juga naik. Menkeu berdalih pemerintah tidak langsung menyetujui usul kenaikan tunjangan yang diminta Badan Urusan Rumah Tangga DPR. Pemerintah terlebih dulu mengkaji usulan yang dilakukan DPR, lalu menyesuaikan kenaikan jumlah tunjangannya.

Ada kesan yang terbentuk, pemerintah dianggap tak berdaya menghadapi permintaan DPR RI.

Kita menyadari keputusan pemerintah menaikkan tunjangan DPR RI tersebut sulit untuk ditarik. Tinggal bagaimana DPR RI menunjukkan ke publik bahwa kinerjanya meningkat setelah ada kenaikan tunjangan. Berhenti menimbulkan kegaduhan yang tak perlu yang justru mengganggu upaya pemulihan ekonomi bangsa. Saatnya DPR RI bekerja dalam arti sebenar-benarnya untuk bangsa dan negara. ***

(Akham Sophian)
Kategori : Opini
Sumber:Hariansib.co
wwwwww