Waspadai Uang Palsu untuk Memenangkan Pilkada

Waspadai Uang Palsu untuk Memenangkan Pilkada

Ilustrasi uang palsu.

Selasa, 24 November 2015 08:34 WIB
PILKADA serentak tinggal hitungan hari. Artinya waktu yang tersedia bagi kandidat bersama tim suksesnya untuk meyakinkan pemilih semakin sempit. Pilihan untuk menempuh cara cepat dan sesat adalah dengan melakukan politik uang, selalu terbuka. Seperti rumus terjadinya kejahatan, akan sangat tergantung dua hal, yakni niat dan kesempatan. Indikasi peredaran uang palsu untuk digunakan dalam Pilkada sudah mulai tercium. Tahun ini, jumlah uang palsu yang ditemukan Bank Indonesia mencapai 15 lembar uang dalam setiap 1 juta lembar uang.

Sedangkan di tahun lalu, jumlah uang palsu yang ditemukan tercatat hanya 12 lembar uang palsu dalam setiap 1 juta lembar uang. Jadi, uang palsu rasio 15 lembar per satu juta uang. Rasio ini bisa bertambah mengingat tingginya kebutuhan uang saat Pilkada.

Politikus hitam yang sering melakukan serangan fajar, yaitu membagi-bagi duit untuk menarik simpatisan, dapat menjadi pemicu maraknya transaksi uang palsu. Mengutip laporan Kontan, pada pemilu tahun 2003 ditemukan setidaknya 24.656 lembar uang palsu. Lalu tahun 2004 ditemukan 42.498 lembar uang palsu serta 86.552 lembar di tahun 2008 dan 79.846 lembar pada tahun 2009. Perkembangan teknologi cetak yang makin canggih memang telah menyuburkan upaya pemalsuan uang di Indonesia.

Awal tahun ini, Tim Resmob kota Satreskrim Polres Jember menangkap pengedar uang palsu. Barang bukti uang palsu yang diamankan sebanyak Rp 12,2 miliar direncanakan diedarkan ke wilayah Indonesia bagian Timur. Lalu beberapa hari lalu, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Tipideksus) Bareskrim Polri menggerebek pabrik uang palsu yang sudah beroperasi sejak tahun 2011. Seorang pelaku yang berhasil diamankan bekerja berdasarkan pesanan pihak-pihak tertentu termasuk untuk Pilkada.

Ada banyak modus pelaku pencetakan dan peredaran uang palsu. Sasarannya bukan hanya Pilkada saja, tetapi setiap peluang selalu terbuka untuk dimanfaatkan. Menurut Bank Indonesia, beberapa modus yang sering digunakan pelaku antara lain, pertama, dengan penggandaan uang. Caranya adalah, pelaku menjanjikan bisa melipatgandakan uang. Korban diminta menyetor sejumlah uang lalu pelaku akan memberikan uang dalam jumlah yang jauh lebih besar. Uang yang diserahkan pelaku itulah yan merupakan uang palsu.

Kedua, pelaku bertransaksi seperti biasa, tetapi menggunakan uang palsu. Modus ini bisa menimpa siapa saja, terlebih mereka yang berbisnis jual beli mulai dari pemilik hotel dan restoran sampai penjual sayur. Pelaku biasanya memanfaatkan situasi sibuk sehigga korban tidak sempat memperhatikan dan memeriksa bahwa uang yang diterimanya adalah uang palsu. Ketiga, menyisipkan uang palsu diantara gepokan uang asli. Modus terakhir ini yang kemungkinan besar digunakan dalam serangan fajar.

Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Mabes Polri mengakui perkembangan cara pembuatan uang palsu seiring sejalan dengan kemajuan teknologi. Untuk membedakan uang asli dan palsu sekarang tidak cukup dengan dilihat, diraba, dan diterawang alias 3D. Sebab, pembuat uang abal-abal makin canggih. Oleh sebab itu, tak aneh, meski banyak masyarakat yang paham prinsip 3D, tidak sedikit yang masih terkecoh dengan uang palsu. Perlu alat deteksi seperti yang dimiliki bank disebar ke masyarakat.

Untuk mengantisipasi peredaran uang palsu terutama menjelang Pilkada, BI telah menandatangani nota kesepakatan dengan Kejaksaan Agung. Kedua lembaga bergandengan tangan dalam pencegahan beredarnya uang-uang palsu ini. Kerja sama serupa telah dijalin dengan pihak kepolisian. Peredaran uang palsu menurun karena aparat melakukan penindakan sebelum uang itu sempat beredar ke masyarakat. Tetapi besarnya godaan keuntungan dari uang palsu ini tak membuat jera para pelakunya meski sudah dihukum berat.

Masyarakat mesti waspada saat bertransaksi menggunakan uang. Khusus untuk Pilkada, warga diminta berani menolak serangan fajar dari masing-masing calon. Jangan hanya karena uang puluhan atau ratusan ribu, selama lima tahun akan menderita karena memilih calon kepala daerah yang salah. Polisi dan aparat intelijen seharusnya sudah mendeteksi pihak-pihak yang ingin curang dalam Pilkada, apalagi jika menggunakan uang palsu. ***

(Akham Sophian)
Kategori : Opini
Sumber:Hariansib.co
wwwwww